Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
PERMASALAHAN guru honorer di berbagai daerah yang tidak bisa menangkap peluang menjadi aparatur sipil negara (ASN) karena regulasi dan minimnya kesejahteraan mereka hendaknya dibuatkan kebijakan khusus yang berpihak kepada honorer oleh pemerintah pusat.
Harapan itu dikemukakan Wakil Ketua DPRD Sumatra Barat Arkadius Datuak Intan Bano, kemarin, menanggapi berlanjutnya aksi demo guru honorer di Sumbar dan juga wilayah lainnya. Dia menambahkan, adanya ratusan honorer yang berunjuk rasa di depan kantor Gubernur Sumbar akan ditindaklanjuti oleh pemprov secara proaktif melalui lobi ke pemerintah pusat.
Menurut Arkadius, jika peluang menjadi ASN tidak bisa didapat oleh guru honorer karena umur mereka telah melewati syarat yang ditentukan ataupun tidak kunjung jadi ASN karena moratorium yang terlalu lama, setidaknya mereka mendapatkan kesejahteraan. "Melihat pengabdian mereka yang bertahun-tahun, bahkan ada yang hingga 20 tahun, DPRD menginginkan pemerintah pusat membuat aturan main yang berpihak pada honorer," tegasnya.
Ditambahkan Arkadius, ada beberapa faktor yang membuat honorer tidak kunjung diangkat atau mendapat status sebagai ASN. Pertama, pernah mengikuti tes CPNS, tetapi tidak kunjung lulus. Kedua, diberlakukannya moratorium penerimaaan CPNS.
Berikutnya, karena tidak adanya formasi atau kuota pembukaan CPNS sesuai jurusan yang diambil tenaga honorer ini pada saat kuliah. Arkadius menilai sebaiknya mempertimbangkan merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Sementara itu, ribuan guru honorer di berbagai daerah di wilayah Priangan Timur menyatakan masih tetap menunggu kebijakan dari pemda dan pusat terkait pengangkatan calon ASN. "Selama ini semua guru hanya mendapat uang setiap bulan berasal dari dana operasional sekolah (BOS). Akan tetapi, pembayaran yang diberikan belum sebanding dengan upah minimum kerja (UMK)," ujar seorang guru honorer Asep Andi Mubarok.
Menurut Asep, selama bekerja sebagai tenaga pendidik di Kampung Ciawi, Desa/Kecamatan Bojonggambir, Kabupaten Tasikmalaya belum menerima SK dari Bupati dan setiap bulannya menerima honor sebesar Rp100-Rp200 ribu. "Saya sudah 12 tahun sebagai tenaga pendidik di sekolah dasar," ujarnya.
Andi, seorang guru honorer, menambahkan adanya pelaksanaan tes ASN umum dengan batasan umur 35 tahun itu memang dirasakan oleh sebagian besar guru honorer sangat berat dan diskriminatif.
Kemauan politik
Dalam merespons aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh guru honorer, Pemkab Banyumas Jawa Tengah, mengakui bahwa pendapatan pegawai honorer masih jauh di bawah UMK, sekitar Rp1,5 juta. Pasalnya, kalau sesuai UMK, pemkab harus menganggarkan Rp50 miliar, sedangkan kekuatan Pemkab Banyumas baru mencapai Rp12 miliar.
Bupati Banyumas Achmad Husein mengatakan bahwa honorarium yang diterima oleh pegawai guru atau honorer di Banyumas dialokasikan dari APBD kabupaten. "Kami juga terus berusaha untuk menaikkan honor secara bertahap, tetapi memang masih di bawah UMK Banyumas yang ditetapkan Rp1,5 juta lebih."
Dijelaskan Husein, pegawai honorer di Banyumas terdiri atas guru, petugas kebersihan, petugas perpustakaan, dan penjaga sekolah. Salah seorang pegawai honorer, Retno, 40, mengatakan bahwa tuntutan pegawai honorer ialah diangkat menjadi ASN bukannya penaikan honor. "Kami hanya ingin honorer diprioritaskan jadi ASN karena masa pengabdian yang panjang," tegasnya.(AD/LD/N-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved