Human Rights Working Group (HRWG) menentang keras tindakan penindasan dan praktik pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan oleh aparatur negara dalam proses pengosongan lahan untuk pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA).
Pasalnya, menurut Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Muhammad Hafiz, PT. Angkasa Pura I (Persero) sebagai pemrakarsa dan PT. Pembangunan Perumahan (PT. PP) sebagai pelaksana teknis kembali melakukan proses pengosongan lahan secara paksa dengan bantuan 700 personel gabungan TNI, Polri, dan Satpol PP.
Tidak hanya melakukan pengosongan lahan secara paksa, aparat penegak hukum juga melakukan kekerasan dalam proses pengosongan lahan secara paksa ini.
"Adalah Ibu Ika yang mengalami tindakan kekerasan pada bagian wajah hingga berdarah. Bu Ika menjadi sasaran pemukulan oleh aparat saat bertahan dan menolak untuk meninggalkan rumah selama proses pengosongan lahan berlangsung. Polwan yang saat itu mendatangi Bu Ika di rumahnya meminta Bu Ika berhenti membaca kitab suci dan menarik kitab suci tersebut sebelum kemudian mendaratkan pukulan di wajah Bu Ika," ujarnya di Jakarta, hari ini.
HRWG sangat menyayangkan tindakan PT. Angkasa Pura I yang lagi-lagi tidak melibatkan pendampingan Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia dalam proses pengosongan lahan untuk menjamin bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM selama proses pengosongan lahan berlangsung.
Ia menegaskan, penggusuran di Kulon Progo ini menjadi bukti bahwa pembangunan yang digagas pemerintah tidak menempatkan masyarakat sebagai aspek penting dan justru ditinggalkan. Padahal dalam skema SDGs, Pemerintah selalu menyatakan "no left behind" atau tidak ada satupun yang boleh dilupakan dalam skema pembangunan.
"Sayangnya pernyataan tersebut tidak tercermin dalam pembangunan
New Yogyakarta International Airport (NYIA) yang justru menggusur paksa masyarakat dan melanggar Hak Asasi Manusia," ujarnya.
Hafiz menyampaikan bahwa penggusuran ini menunjukkan betapa agenda bisnis dan HAM sama sekali tidak menjadi prioritas pemerintah. Meskipun, pada praktiknya Pemerintah Indonesia adalah salah satu negara yang getol mengusung wacana tersebut di tingkat internasional. Gagalnya proses negosiasi yang memberikan keuntungan bagi semua pihak menunjukkan Negara tetap abai dengan kepentingan warga negara.
"Pembangunan demi kepentingan umum tidak seharusnya dijadikan justifikasi untuk melakukan pelanggaran HAM, karena pada prinsipnya setiap orang memiliki hak yang sama dan setara untuk menikmati hidup yang layak," tuturnya.
Untuk itu HRWG mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk menjamin skema perbaikan dan pemulihan atas hak-hak warga negara yang tergusur. Kedua, memastikan Pemerintah Pusat dan Daerah menjamin hidup warga Kulon Progo atas tempat tinggal yang layak, jaminan atas kesehatan, kualitas sanitasi dan air yang baik, mengembalikan properti yang hilang, mengembalikan atau menyembuhkan psikologis/trauma warga yang terkena dampak penggusuran.
Ketiga, mencegah terjadinya pengambilalihan lahan-lahan warga tanpa proses yang setara dan adil, membentuk skema pemulihan dan pemberian ganti rugi yang memadai, serta memastikan pendirian setiap orang dihargai atas tanah, properti, dan kehidupannya.
Keempat, sesuai dengan Komentar Umum Komite Ekonomi, Sosial, dan Budaya seharusnya Negara menyusun kerangka kebijakan yang komprehensif terkait dengan pengambilan lahan warga, dengan kekuatan hukum mengikat, bahkan dengan sanksi bagi pelaku perampasan lahan yang dilakukan secara ilegal.
Terakhir, menindak dengan tegas aparatur keamanan negara yang terbukti terlibat dalam proses pengosongan lahan NYIA secara paksa dan melakukan tindakan represif yang melanggar hak asasi manusia. (OL-4)