Headline

Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.

Fokus

Terdapat sejumlah faktor sosiologis yang mendasari aksi tawur.  

Sulitnya Regenerasi Perajin Tikar Mendong

(Ardi Teristi Hardi/N-3)
24/10/2017 03:30
Sulitnya Regenerasi Perajin Tikar Mendong
(MI/ARDI)

JARI-jemari Payem menari lincah menganyam mendong. Ia terlihat cekatan dan mahir menganyam mendong tanpa melihat itu di tangannya. “Sudah hafal, sudah lama bisa menganyam seperti ini,” kata perempuan kelahiran 1956 tersebut, Rabu (18/10).
Siang itu Payem sedang menganyam mendong untuk dibuat menjadi tikar. Bagi perempuan yang mengaku tidak bisa baca tulis tersebut, keterampilannya menganyam mendong sudah turun-temurun. Dulu, orangtuanya juga perajin anyaman tikar mendong dan anyaman bambu untuk dijadikan sebagai bakul.

Namun, saat ini dari pengakuan Payem, penganyam mendong di Pedukuhan Kayuhan Wetan, Desa Triwidadi, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, sudah jauh berkurang. Anak muda di desanya tidak mau lagi menganyam mendong. Ketiadaan generasi penerus yang mau menganyam mendong diakui pula oleh Legiyem, perajin sekaligus pengepul kelahiran 1970. Di Desa Triwidadi, Legiyem yang sudah menjadi perajin mendong sejak 1982, merupakan perajin termuda. “Mana mau yang muda-muda menganyam mendong,” kata dia di tempat yang sama.

Anak-anak muda saat ini lebih memilih bekerja di pabrik. “Kami cuma bisa menganyam untuk tikar. Ingin juga bisa buat tas atau topi, tapi tidak bisa,” kata Legiyem. Ia pun berharap ada pihak-pihak yang memberikan pelatihan. Setiap hari Legiyem hanya menganyam dua tikar, berukuran 70 x 70 cm dan 1,25 x 2 meter. Tikar ukuran kecil dijual seharga Rp5.000, sedangkan tikar ukuran besar seharga Rp35 ribu-Rp50 ribu. Para perajin anyaman mendong di desanya kini hanya 20 orang. Mereka biasa menganyam mendong saat-saat luang. Akibatnya, produksi mereka pun tidak banyak. Satu tikar ukuran besar biasa diselesaikan dalam sepekan, sedangkan empat tikar kecil bisa selesai sehari.

Menurut Legiyem, minat masyarakat terhadap tikar mendong menurun saat ini. Masyarakat lebih banyak membeli tikar plastik sehingga tikar mendong pun tersingkirkan. Padahal, secara kualitas tikar mendong jauh lebih unggul dan ramah lingkungan.
Kepala Desa Triwidadi, Slamet Riyanto, 39, mengakui regenerasi perajin anyaman mendong memang sulit, sama sulitnya seperti regenerasi petani. Dulu sekitar 20 tahun lalu, di setiap dukuh banyak perajin anyaman mendong. “Sekarang setiap dukuh hanya ada satu-dua perajin mendong,” kata kepala desa yang membawahkan 22 pedukuhan itu.

Ia pun menyambut baik apabila warga memiliki keinginan meregenerasi perajin anyaman mendong. “Anggaran desa bisa digunakan untuk mengadakan pelatihan menganyam mendong, termasuk membuat tas dan topi. Warga harus membuat usulan itu ke desa,” kata dia. (Ardi Teristi Hardi/N-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya