PADA 25 November 2015, Presiden Joko Widodo berkesempatan meninjau pembangunan rel kereta api trans-Sulawesi serta pembangunan flyover poros Bulu Dua di Dusun Pekkae, Desa Tellumpanua, Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.
Di hadapan Presiden, Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Hermanto Dwiatmoko menjelaskan secara keseluruhan rel kereta api trans-Sulawesi ditargetkan rampung pada 2018. Dana yang dibutuhkan Rp10,8 triliun untuk pembangunan seluruh infrastruktur yang mendukung keberadaan trans-Sulawesi. Rinciannya pembangunan jembatan Rp2,2 triliun, stasiun, depo, dan balai yasa Rp1,2 triliun, sintel Rp700 juta, pembebasan lahan Rp2,4 triliun, dan tranck Rp4,3 triliun.
Dana yang disediakan melalui APBN Rp200 miliar, sedangkan dari APBD sebesar Rp100 miliar. "Pada 2016, anggaran yang diperoleh Rp268 miliar, masih ada kekurangan Rp200 triliun," ungkap Hermanto.
Presiden Joko Widodo, saat menerima laporan tersebut, berjanji akan mengajukan penambahan anggaran Rp200 triliun tersebut pada APBD Perubahan.
"Kalau ada transportasi laut dan kereta api, pasti biaya distribusi lebih rendah. Biaya logistik lebih murah," ujar Presiden saat meninjau jalur kereta api trans-Sulawesi tahap I Makassar-Parepare.
Presiden juga mengharapkan konstruksi rel KA dari Makassar-Parepare yang terhubung ke Manado sudah terlihat. "Saat ini konstruksi rel sudah mencapai 16 km sampai akhir tahun. Kita berharap tahun depan ke Parepare sekitar 145 km terealisasi. Pada 2016 juga mulai dibangun rel kereta api dari Manado ke sini (Sulsel)," tambah Presiden.
Presiden berharap pada 2018 rel KA itu tersambung dan beroperasi. Bahkan jalur KA tersebut akan tersambung dengan Makassar New Port dan bandara. "Jadi ada integrasi moda transportasi baik udara, laut, maupun darat," tegasnya.
Tidak hanya itu, pada pembangunan jalur kereta api tersebut, Presiden meminta dirjen perkeretaapian agar menggunakan tenaga kerja lokal yang berasal dari masyarakat sekitar. "Manajemen dan karyawan semua dari masyarakat daerah," harap Presiden.
Selain tenaga kerja memanfaatkan sumber daya dari masyarakat sekitar, Presiden menjelaskan semua gerbong dan lokomotif dibuat di Inka, bantalan rel dari PT Wijaya Karya, dan pengunci rel dari PT Pindad, dan hanya rel yang terbuat dari Jepang. Kereta itu nantinya dapat melaju hingga 200 km per jam. Lebar rel mencapai 1.435 mm, lebih besar daripada lebar rel kereta api di Jawa dengan lebar 1.067 mm.
Sejarah perkeretaapian di Sulawesi Selatan sebenarnya bukan hal baru. Moda angkutan massal itu sudah pernah ada pada era kolonial Belanda. Saat itu, perusahaan bernama Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NV NISM) sudah ada di Makassar.
Jawatan perkeretaapian yang dipimpin Ir JP de Bordes membangun jaringan sepanjang 47 km dari Makassar hingga Takalar dan beroperasi mulai 1 Juni 1923. Jawatan itu juga membangun jaringan Makassar-Maros, tapi tidak tuntas lantaran pecah Perang Dunia II. Proyek itu pun terbengkalai dan pemerintahan beralih ke tangan Jepang dan semua jaringan dibongkar. (LN/N-4)