PKL dan Pengamen Kuasai Kota Tua Pengunjung kian Terpinggirkan
MI
28/12/2015 00:00
(ANTARA/M AGUNG RAJASA)
KENYAMANAN Adi, 26, di Kota Tua terpaksa terganggu. Sejuknya semilir angin di malam Minggu sontak hilang karena ia harus berdesak-desakan dengan ratusan pedagang kaki lima (PKL) dan pengamen yang memadati Plaza Museum Fatahillah.
Bisingnya teriakan PKL dalam menjajakan dagangan seperti tengah beradu dengan kerasnya suara pengamen yang keluar dari kotak loudspeaker yang mereka bawa.
"Karena lihat acara di TV, saya ingin sekali ke Museum Fatahillah ini. Suasananya seperti eksotis jika di malam hari. Tapi malam ini semuanya buyar," ujar Adi, warga Garut, Jawa Barat, yang tengah menghabiskan masa liburnya di Jakarta.
Wajahnya masam saat memberi uang Rp2.000 kepada pengamen yang 'menodongnya'.
"Kalau tidak dikasih, suka memaksa," keluhnya.
Selain bernyanyi, ragam atraksi juga dilakukan para pengamen itu untuk mengharap iba para pengunjung. Misalnya bernyanyi sambil berorasi yang menegaskan mengamen itu lebih baik daripada mencuri.
Selain pengamen, ratusan PKL menggelar terpal sebagai alas mereka berjualan di plaza museum. Mereka menggelarnya sesuka hati. Kesemrawutan tersebut membuat pengunjung harus berhati-hati saat berjalan agar tidak menginjak barang dagangan para PKL.
Keluhan yang sama juga disampaikan Lesmana, 25. Ia yang datang ke Kota Tua bersama teman-temannya itu terganggu oleh ratusan lapak yang ada di sana.
"Rencana kami bubar semua. Awalnya ingin bertualang di Kota Tua, sekarang bertualang di antara pengamen dan PKL," keluhnya.
Rencana berfoto ria di Kota Tua pun gagal. "Tidak mungkin saya dapat gambar eksotisme Kota Tua di malam hari, di tengah ratusan pengamen dan PKL seperti ini. Baru mau foto, ada orang datang bawa gitar," sergahnya.
Kota Tua merupakan tempat favoritnya bersama teman-teman untuk menghabiskan waktu libur. Sayangnya, PKL yang makin membeludak di malam hari membuatnya tidak leluasa menikmati suasana Kota Tua.
"Semakin malam PKL semakin banyak, jadi tidak leluasa. Petugas tidak terlihat sama sekali untuk menertibkan," ujar Lesmana.
Khusus untuk pengamen, ia merasa seperti dipaksa untuk memberikan uang.
"Mereka bilang seikhlasnya saya, tapi mereka terus meminta-minta sampai saya risih. Akhirnya saya kasih saja uang biar pergi. Eh belum lama, nongol lagi pengamen lain. Bagaimana saya tidak kesal?" keluh Lesmana.
Di ujung pentas, seusai menyanyi dengan suara parau, seorang vokalis berucap, "Ini Jakarta, cari kerjaan susah. Pengamen itu banyak, harap maklum," ucap sang pengamen. (Sri Cahya Lestari/J-1)