Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
DEWI Taviana Walida Haroen, jadi saksi pertama yang dihadirkan pada sidang ke-22 sidang kasus kematian Wayan Mirna. Dia merupakan ahli psikologi dari Universitas Indonesia.
Dalam persidangan, Dewi diminta pendapatnya soal parameter lazim atau tidak lazimnya sejumlah sikap terdakwa Jessica Kumala Wongso. Mengingat, ahli psikologi yang pernah dihadirkan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU), Antonia Ratih Anjayani menilai sikap Jessica tidak lazim.
Dalam persidangan pada 15 Agustus lalu, Ratih menyebut kalau beberapa sikap Jessica tidak lazim di hari Mirna meregang nyawa. Sikap yang menurut Ratih tidak lazim dari Jessica yakni menaruh tiga paper bag di atas meja dan melakukan close-bill setelah memesan es kopi Vietnam untuk Mirna.
Menurut Dewi, semestinya harus ada data statistik buat menerangkan itu. Perlu ada beberapa metode guna menarik kesimpulan janggal atau tidak janggal, maupun lazim ataupun tidak lazim.
"Namanya metode ukuran antarwaktu. Itu untuk mengukur konsistensi. Bagaimana seseorang melakukan sesuatu yang bisa dilakukan," kata Dewi di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (19/9).
Dengan kata lain, Dewi memberi sinyal bahwa kesimpulan Ratih belum kuat. Sebab, Ratih hanya menyimpulkan berdasarkan hasil observasi. Selain itu, Ratih juga hanya menggunakan parameter kelaziman orang lain di luar diri Jessica.
"Kalau ukurannya orang lain, harus ada penilitian. Menggunakan statistika. Tidak bisa pakai norma umum," ujar Dewi.
Mirna meregang nyawa setelah meminum es kopi vietnam yang dipesan oleh Jessica di Kafe Olivier, Grand Indonesia, 6 Januari.
Jessica menjadi terdakwa tunggal kasus tersebut. JPU mendakwa rekan Mirna di Billyblue College Australia itu dengan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana. (MTVN/OL-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved