Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
SEPASANG ondel-ondel menari menyusuri permukiman dan pertokoan di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, Rabu (27/4) sore.
Alunan nada alat musik tehyang yang mengiringi lenggok dua boneka raksasa itu memancing kegirangan bocah-bocah.
Perlahan, uang receh dan kertas pun terkumpul dalam kaleng bekas cat yang disodorkan.
Kondisi itu merupakan sepenggal cerita dari seni Betawi yang makin kehilangan denyut.
Seni ondel-ondel kini tidak lebih dari sekadar ikon yang digunakan saat pesta pernikahan atau penghias perkantoran, pertokoan, dan hotel-hotel saat perayaan ulang tahun Jakarta.
"Ondel-ondel ya ikonnya Jakarta. Ada musik. Dia menari di saat pesta-pesta orang Betawi," kata Chairul, 28, warga Jatinegara.
Hal senada juga diungkapkan Ishak, 29.
Ia hanya mengetahui kesenian ondel-ondel sebatas bagian kebudayaan Betawi.
"Yang saya tahu dulu ada cerita mistisnya, tapi saya kurang paham detailnya seperti apa. Hanya tahu itu merupakan kesenian tarian yang menjadi salah satu simbol Betawi dan Jakarta," ujar pria asli Betawi itu.
Padahal, ondel-ondel memiliki sejarah panjang, mulai bentuk hingga peruntukannya.
Bahkan, ondel-ondel memiliki nilai magis yang dianut masyarakat Betawi.
Budayawan Betawi, Yahya Andi Saputra, menuturkan keberadaan ondel-ondel dimulai jauh sebelum agama Islam datang ke Indonesia.
Saat itu ondel-ondel digunakan sebagai media pengungkap rasa syukur warga Betawi terhadap limpahan rezeki hasil bercocok tanam.
"Khususnya di kawasan Betawi yang agraris, masyarakat kerap memanfaatkan ondel-ondel sebagai salah satu media pengungkap cinta kasih kepada Dewi Sri atau dewi kesuburan. Maka, muncul upacara sedekah bumi dengan ondel-ondel yang diarak warga. Sangat meriah upacara itu," kata Yahya saat ditemui di rumahnya di Jakarta Selatan, Selasa (26/4).
Saat ini, sambung dia, upacara adat itu masih dilakukan sebagian masyarakat Betawi.
Salah satunya dilakukan warga Pondok Ranggon, Jakarta Timur, setiap Idul Adha.
Boneka raksasa dengan tinggi 2,5 meter dan berat sekitar 20 kilogram itu dulu juga dijadikan simbol yang memiliki kekuatan leluhur untuk menolak bala dalam satu kampung.
Tubuhnya yang besar diyakini bisa menjaga kampung dari berbagai masalah.
"Masyarakat tradisional, termasuk Betawi, melihat sesuatu yang besar itu memiliki kekuatan. Menyerupai manusia yang besar memiliki kekuatan supranatural. Itulah yang tergambar dalam ondel-ondel, untuk menolak penyakit, misalnya."
Keseimbangan
Peneliti kebudayaan dari Lembaga Kebudayaan Betawi itu menambahkan ondel-ondel, atau nama lainnya barongan, diidentikkan dengan sepasang suami istri.
"Biasanya gerakan tarian ondel-ondel perempuan lebih halus, tangannya melambai lurus, sementara yang laki-laki menari lebih lincah, kadang berputar-putar."
Menurut Yahya, sepasang ondel-ondel itu juga menjadi simbol keseimbangan dalam hidup.
"Laki-laki dan perempuan, siang dan malam, langit dan bumi. Pasangan itu mengartikan keseimbangan hidup," jelasnya.
Wajah ondel-ondel laki-laki dicat merah atau hitam dengan mata melotot, diberi kumis melintang, jenggot, alis tebal, cambang, dan caling (taring).
Sementara itu, wajah ondel-ondel perempuan dicat putih, diberi rias gincu, bulu mata lentik, dan alis lancip.
Seniman Betawi dari Sanggar si Pitung, Bachrudin, menuturkan saat ini sudah terjadi pergeseran.
Ondel-ondel dibentuk menjadi sosok yang lebih ramah dan tidak menakutkan.
"Kalau zaman dulu harus yang seram karena buat tolak bala. Wajahnya dilengkapi gigi caling. Tapi seiring dengan perkembangannya, ondel-ondel digunakan untuk menghibur," tuturnya.
Yahya Andi mengakui, saat ini pengenalan nilai budaya ondel-ondel mengalami pergeseran. Masyarakat lebih mengenal ondel-ondel hanya sebagai seni tari atau ikon Kota Jakarta.
Terlebih upacara adat dengan media ondel-ondel sudah jarang ditemukan.
"Padahal, ini kearifan lokal yang mesti dijaga," imbuhnya.
Ia mengingatkan, meski pertunjukan kesenian ondel-ondel saat ini lebih ditunjukkan untuk hiburan, keberadaannya sebagai simbol dan budaya Kota Jakarta harus terus dipertahankan para seniman Betawi.
Yahya mengusulkan kepada Pemprov DKI untuk memberikan solusi terhadap kondisi seni ondel-ondel yang memprihatinkan.
Pemprov DKI, kata dia, perlu memberikan dana khusus kepada sanggar agar mereka bisa bertahan.
Saat ini, kata dia, ada 12 grup yang terdaftar resmi di LKB.
"Pemprov kasih dana Rp2,5 juta per bulan untuk setiap sanggar. Untuk apa? Tentu untuk menghidupi sanggar, biaya perawatan, dan alat-alatnya," ungkapnya.
Kedua, kata Yahya, Pemprov DKI perlu memberikan ruang atau tempat khusus yang bisa dijadikan tempat para sanggar untuk mengamen tanpa menggangu aktivitas umum.
"Jika memang mengamen dianggap berbahaya, pemerintah perlu memberikan ruang.
Mengamen enggak di jalan besar, enggak bahayain orang.
Ngamennya di kampung tertentu. Dengan begitu, para seniman bisa tetap berekspresi dan itu bisa menghidupi mereka," kata Yahya. (Sri/Nic/Wan/J-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved