Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
KENDATI sudah berusia 73 tahun, Yatin tetap bersemangat mencari nafkah.
Tubuhnya yang renta masih kuat menyusuri jalanan Ibu Kota untuk menjual abu gosok.
Tanpa alas kaki, Yatin perlahan menarik gerobaknya dari kawasan Tanjung Barat menuju kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Tanpa kenal lelah, Yatin menyusuri satu per satu warteg yang ada di kawasan tersebut.
Setiap hari puluhan kilometer ia susuri untuk bertahan hidup.
'Pakain dinasnya' ialah model safari dan celana pendek selutut, beserta topi koboi lusuh.
"Saya sudah puluhan tahun berdagang abu gosok ini. Abu gosoknya ngambil, ada yang bawa. Saya tinggal jual aja," ujar Yatin, akhir pekan lalu.
Tak seperti biasanya yang terlihat kasar, abu gosok yang dijual Yatin jauh lebih halus dan terlihat kinclong.
Abu gosok itu didapatnya dari kawasan Karawang, yang berasal dari kulit padi yang sudah tak terpakai.
Satu kantong abu gosok dijual seharga Rp3.500.
Jika kita membeli tiga kantong plastik, cukup bayar Rp10 ribu.
Pendapatan Yatin dari berjualan abu gosok terus berkurang.
Saat ini masyarakat mulai meninggalkan abu gosok dan beralih ke sabun pencuci piring.
"Sehari paling dapat Rp50 ribu. Kalau lagi banyak, Rp100 ribuan, tapi itu jarang. Sekarang ini sudah susah karena pembeli sudah jarang. Paling warteg-warteg yang mau bersihin panci. Saya kalah sama sabun cuci piring cair," ujarnya tersenyum.
Meski penghasilannya tak sebanyak dulu, Yatin masih bersemangat menekuni usaha itu karena abu gosoklah yang membuatnya mampu menyekolahkan dua anaknya hingga perguruan tinggi.
Yatin tidak berputus asa.
Ia ingin anaknya maju dan sukses sehingga tidak mengikuti jejaknya berdagang abu gosok.
"Anak saya yang kedua sudah lulus kuliah. Dia ambil sastra Inggris, sekarang dia ngajar di sekolah. Anak saya yang ketiga sekarang semester IV kuliah di Yogyakarta, ambil komunikasi. Anak saya yang pertama meninggal dunia," terangnya.
Yatin bersyukur anak-anaknya ikut prihatin dan menyadari penghasilan orangtuanya yang minim.
Mereka tetap rajin belajar.
Di Jakarta, Yatin tinggal di sebuah rumah kontrakan di Tanjung Barat bersama teman-teman pedagang abu gosok lainnya yang disewakan oleh bosnya.
"Kami sekeluarga hidup prihatin, makan seadanya. Pengeluaran uang hanya untuk yang penting-penting, hemat dan menabung. Alhamdulilah, anak saya satu sudah sarjana dan bekerja. Tinggal satu lagi yang kuliah di Yogyakarta," ungkap Yatin bangga.
Setiap empat bulan, Yatin menyempatkan untuk pulang kampung ke Tegal, Jawa Tengah, menengok istri dan cucu dari anaknya yang pertama dan kedua.
Selain itu, Yatin kerap belajar bahasa Inggris bersama anak keduanya untuk menambah pengetahuan.
"Siapa tahu ada bule yang akan membeli abu gosok, kan bisa saya layani," selorohnya. (Nelly Marlianti/J-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved