Headline
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
JUMLAH pengguna angkutan umum di DKI Jakarta hingga kini baru 24% dari seluruh pelaku perjalanan setiap hari. Tidak mengherankan bila kemacetan lalu lintas di Ibu Kota bagai tidak mengenal waktu.
Padahal, menurut Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit, agar kemacetan bisa terurai, idealnya 60% masyarakat yang beraktivitas beralih ke transportasi massal. Kenyataannya, penggunaan kendaran pribadi semakin dominan. Itu antara lain terlihat dari jarak perjalanan transportasi pribadi dari waktu ke waktu. Sekitar 10 tahun lalu, perjalanan seseorang dengan sepeda motor rata-rata 40 kilometer (km) per hari. Namun kini jaraknya bertambah menjadi 80 km.
Kondisi tersebut dipastikan turut dipicu belum terkoneksinya seluruh moda transportasi. "Angkutan umum di Jakarta bisa dikatakan sedang mati suri. Karena tingkat penggunaannya di bawah 50%. Harusnya ada di kisaran 60% dari pelaku perjalanan," ujar Danang, beberapa waktu lalu.
Ia mengatakan, yang sampai sekarang juga belum dilakukan di Jakarta dalam upaya mengurangi kemacetan ialah integrasi antara permukiman dan stasiun kereta maupun halte kendaraan umum. Selama ini pembangunan permukiman, sekolah, lokasi bisnis, serta jaringan transportasi dilakukan sendiri-sendiri.
"Harusnya pusat aktivitas dan permukiman ditata dekat dengan stasiun atau halte. Jika kondisinya seperti itu, pasti masyarakat punya kenikmatan lebih tinggi dalam menggunakan kendaraan umum," katanya. Oleh karena itu, tambahnya, pembatasan kendaraan pribadi belum bisa dilakukan selama kualitas angkutan umum masih rendah.
Kendatipun seluruh sistem transportasi telah terbentuk dan masyarakat mulai beralih menggunakan angkutan umum, kulaitas trotoar jalan juga harus diperhatikan. Sebab, pengguna angkutan umum butuh fasilitas untuk berjalan kaki. "Sehingga perbaikan fasilitas pejalan kaki juga harus diutamakan. Persoalan besar lainnya yang ada di Jakarta adalah minimnya fasilitas pejalan kaki," kata pengamat infrastruktur transportasi Suyono Dikun.
Masalahnya, tambah dia, kondisi trotoar banyak yang rusak. Bahkan fungsinya sebagian sudah bergeser, antara lain menjadi lokasi parkir kendaraan dan tempat berjualan. Lebar trotoar yang ideal, menurut Suyono, sekitar 2-3 meter. Kenyataannya, saat ini ada trotoar yang lebarnya hanya 1 meter. Padahal trotoar juga salah satu infrastruktur mobilitas masyarakat selain angkutan umum.
Layanan rendah
Sementara itu, Sekretaris Jenderal MTI Soegeng Poernomo menilai argumen Kementerian Perhubungan tentang penyerapan anggaran 2015 sebesar 72% sebagai prestasi, kurang tepat. Dalam sistem belanja negara, ujarnya, APBN merupakan pemicu pertumbuhan berkualitas. Sebaliknya, minimnya penyerapan anggaran berdampak pada rendahnya layanan transportasi. Dengan demikian, penghematan keuangan negara bukan salah satu kinerja positif, melainkan persoalan yang mesti ditangani serius. Kemampuan perencanaan dan penetapan sistem pengadaan yang tepat, serta pemantauan belanja investasi harus menjadi ukuran kinerja internal Kementerian Perhubungan.
"Pengeluaran terbesar anggaran masih didominasi subsidi dan PSO (public service obligation) di berbagai subsektor transportasi. Berkaca pada sistem pengadaan saat ini, penyerapan berkualitas diperkirakan masih belum akan tercapai," kata Soegeng. Ia memperkirakan belanja 2016 untuk pengadaan bus di Jakarta akan mempersulit pemerintah daerah dalam menganggarkan perawatan. Tahun ini saja, program pembelian bus periode 2010-2015 membuat pemerintah daerah tidak mampu menanggung biaya pemeliharaan. Dengan demikian, akan banyak bus yang rusak dan tidak beroperasi. (J-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved