Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
SUDAH sepekan, Muhammad Faddilah Husen, 16, mengurung diri dalam kamarnya.
Sekitar dua jam Media Indonesia menyambangi kediamannya di Jalan di Jalan Waru I RT001/03, Pamulang Barat, Pamulang, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Senin (30/7). Anak ketiga dari empat bersaudara itu tak juga nampak.
Padahal, kesehariannya, Fadil kerap menyibukan diri di sela waktu senggang menyalurkan hobi bermain futsal bersama teman-temannya. Siang itu, hanya orang tua Fadil, yakni Yasin, 46, dan Leonita Sugiarti, 40, menemani Media Indonesia berbincang-bincang di rumahnya.
Leonita menceritakan, kejadian saat itu memang cukup memukul hati anaknya. Memang awalnya cukup mengejutkan keluarga, Senin (23/7) pagi, Fadil secara tiba-tiba sudah sampai rumah. Padahal semestinya, ia masih harus melaksanakan kegiatan belajar mengajar (kbm) di SMA Negeri 6 Pamulang, Kota Tangsel.
Sudah sepekan lamanya, Fadil mengikuti kegiatan masa orientasi siswa (MOS) di sekolah tersebut sebagai siswa tahun ajaran baru 2018-2019. Sejak awal, proses pendaftaran hingga pembelian seragam telah dilalui Leonita supaya anaknya dapat bersekolah di SMA Negeri 6.
"Waktu ikut MOS, nama anak saya masih ada di absen. Tapi giliran selesai upacara hari pertama sekolah, anak saya dipanggil wakil kepala sekolah bidang kurikulum dan dibilang kalau nama anak saya tidak ada. Habis itu disuruh pulang dan tunggu kabar lagi dari sekolah," ucap Leonita lirih.
Tidak hanya mengejutkan, keputusan pihak sekolah cukup membuat kesal keluarga. Pasalnya, Fadil dinyatakan tidak dapat mengikuti kegiatan belajar sebagai siswa SMA Negeri 6 di saat jadwal sekolah sudah berjalan.
Di satu sisi, seluruh persyaratan sudah dipenuhinya. Fadil pun sudah beberapakali mengikuti tes penjurusan di bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
"Kalau sudah begini mau gimana? Lagian kenapa kalau emang tidak diterima kemarin bisa beli seragam. Beli seragam aja Rp 570 ribu. Padahal waktu beli seragam kan pakai bukti kalau anak saya memang sudah diterima di sekolah," katanya.
Seragam sekolah tersebut kini masih tersimpan rapi di kediaman Leonita. Ke depannya ia belum tahu, apakah pakaian itu dapat dikenakan anaknya atau tidak. Pasalnya sampai saat ini pihak sekolah tidak menepati janjinya.
Bukannya membawa kabar, tapi justru makin sulit saat dimintai konfirmasi di sekolah.
"Giliran saya berapakali ke sekolah nanya nasib anak saya malah dilempar-lempar. Terakhir disuruh ketemu sama kepala sekolah. Tapi tiap datang ke sekolah katanya pak Agus (Kepala Sekolah SMA Negeri 6 Tangsel)-nya enggak pernah ada," ceritanya.
Menurut Leonita, tempat tinggalnya masih masuk zonasi, satu kelurahan dengan sekolah.
"Anak saya juga punya KIP (Kartu Indonesia Pintar)," tambahnya ceritanya.
Dikatakan Leonita, anaknya terus dibayang-bayangi sejumlah ketakutan atas pengalaman kurang baik yang dialaminya ini. Mulai dari malu kepada temannya-temannya sampai pada kekhawatiran adanya intimidasi dari pihak sekolah apabila memang kedepannya tetap diterima di sekolah awal.
"Anak saya kemarin pernah tanya, nanti kalau memang dipanggil lagi (sebagai murid SMA Negeri 6 Tangsel) sama guru-guru sana dimusihi apa tidak. Masalahnya sekarang saja sudah kayak gini," ujarnya.
Sejauh ini, pihak SMA Negeri 6 Kota Tangsel memang belum dapat memutuskan apakah Fadil dapat kembali bersekolah atau harus mencari alternatif mendaftar ke sekolah lain. Proses pengecekan datanya masih harus kembali dikroscek.
"Terkait anak sekolah yang dileluarkan, itu sedang kita bicarakan, nanti di cek dia dari jalur apa, nanti kalau daftar namanya ada apa kesalahanya. Tinggal kita cek kesalahannya di mana. Kalau memang namanya udah ada terus datanya udah ada bisa disisipkan lagi, itukan memang sudah resmi kalau memang sudah ada," terang Humas SMA Negeri 6 Tangsel singkat. (OL-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved