Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Ibarat Gula yang Diserbu Semut (Bagian 2)

Ferdian Ananda Majni
20/6/2018 07:47
Ibarat Gula yang Diserbu Semut (Bagian 2)
Seorang warga sedang memproses minyak mentah yang diambil dari pengeboran sumur minyak tradisional di Gampong Pasir Putih, Kecamatan Ranto Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, pekan lalu.(MI/Ferdian Ananda Majni)

RABU (25/4) dini hari, sebuah sumur minyak milik warga di Gampong Pasir Putih, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur, meledak. Insiden itu menewaskan 22 orang dan melukai puluhan lainnya. Untuk mengetahui aktivitas warga yang mengusahakan sumur minyak di sana, wartawan Media Indonesia Ferdian Ananda Majni menelusuri ke lokasi Mei lalu. Berikut Liputan khusus yang kami turunkan.

---------------------------------------------------------------------------

DI pinggir sebuah lapangan bola berjajar puluhan tenda berwarna biru. Di bawah salah satu tenda, seorang remaja cekatan menggerakkan sebuah kayu untuk mengatur putaran kawat yang menarik pipa dari lubang sumur.

Dalam pengamatan Media Indonesia begitulah keseharian warga di Gampong Pasir Putih, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur. Mereka menambang minyak dari ratusan sumur yang tersebar di seantero desa.

Dua buah besi besar ditanam di kedua sisi sebuah sumur. Besi-besi tersebut berfungsi mengimbangi tarikan kawat yang mengikat pipa di dalam lubang sumur. Ketika muncul ke permukaan, pipa itu langsung diarahkan ke sebuah ember. Sejurus kemudian minyak yang berbuih itu pun tumpah ke dalam ember.

Aroma minyak menyengat. Sesekali tercium bau gas. Minyak yang berwarna hijau kekuningan tersebut ditampung di sebuah drum bermuatan 200 liter. Jika drum sudah terisi penuh, pengepul datang untuk membelinya.

Pengeboran minyak yang dilakukan warga memang tidak seperti layaknya aktivitas di sumur eksplorasi pada u­mumnya. Mereka tidak dibekali perlengkapan sesuai dengan prosedur operasional standar.

Beberapa sumur yang sedang tidak beroperasi dibiarkan berantakan. Tidak ada alat pengukur tekanan gas untuk memantau luapan gas yang sewaktu-waktu bisa meledak. Para pekerja dan warga menambang emas hitam itu hanya berdasarkan naluri dan pengalaman belaka.

Seorang remaja yang menjadi penarik minyak mengaku menerima upah Rp100 ribu hingga Rp200 ribu per hari. Mendapatkan uang sebesar itu membuat remaja tersebut rela menghabiskan waktu mendulang minyak.

Tidak terbatas warga desa setempat, penduduk desa tetangga pun berdatangan. Ratusan sumur minyak di Gampong Pasir Putih ibarat gula yang diserbu semut dari berbagai penjuru.

Sejak warga mengebor minyak, desa mereka menjadi ramai orang dari berbagai penjuru Aceh. Puluhan truk mondar-mandir mengangkut minyak untuk dibawa ke Sumatra Utara.

Roda ekonomi warga desa berputar kencang. Para pedagang dari luar kota datang silih berganti ke desa itu. Bahkan, di kawasan itu setiap hari tidak pernah sepi dari pedagang yang menjajakan rupa-rupa barang, mulai makanan hingga perlengkapan alat pengeboran minyak.

 

Warga mengangkat drum berisi minyak hasil penyulingan di Gampong Pasir Putih, Kecamatan Ranto Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, pekan lalu.

Salah seorang warga Gampong Pasir Putih yang juga memiliki lahan pengeboran minyak seluas 5 hektare, Gunawan, mengakui aktivitas penambangan telah mengangkat roda perekonomian warga setempat. Tidak sedikit di antara mereka mampu membangun rumah baru, membeli kendaraan roda empat, dan modal tambahan untuk menikah.

Pemodal, menurut Gunawan, kebanyakan berasal dari luar Gampong Pasir Putih. Mereka menye torkan modal dan warga setempat menjadi pekerja. Namun, ada juga beberapa warga yang diberikan kepercayaan oleh pemodal untuk mengelola sumur minyak.

“Awalnya, mereka memang diberikan modal dan kepercayaan. Tetapi ada 10 orang yang saya kenal telah berhasil. Padahal, sebelumnya kehidupan mereka biasa-biasa saja,” kata Gunawan.

Biaya awal untuk pengeboran minyak sangat bervariasi tergantung lamanya pekerjaan untuk mendapatkan minyak. Kisarannya bisa mencapai Rp40 juta hingga Rp60 juta.

“Rata-rata kembali modal setelah dua bulan beroperasi. Setelah itu, mereka bisa mendapat keuntungan hingga ratusan juta rupiah,” sebut Gunawan.

Keuntungan yang berlipat-lipat itu bisa dinikmati masyarakat saat proses pendistribusian minyak berlangsung aman. Pasalnya, harga jual minyak mentah mencapai Rp1 juta per 200 liter yang ditampung dalam satu drum.

“Kini, harganya sedang anjlok. Banyak mobil pengangkut ditangkap polisi. Harga satu drum paling mahal Rp600 ribu,” sebut Gunawan.

Meskipun demikian, setiap hari ada saja mobil pengangkut yang datang untuk membeli minyak mentah dari warga di Gampong Pasir Putih. Gunawan mengatakan aktivitas penjualan minyak tidak sebebas dulu tetapi masih berlangsung dalam skala kecil.

Sebagai penduduk setempat, Gunawan terhitung pendatang baru dalam usaha pengeboran minyak. Dia sudah menanamkan uang sekitar Rp80 juta untuk modal pengeboran lima titik sumur. Tiga di antaranya gagal karena tidak ditemukan kandungan minyak di dalamnya.

Gunawan juga tidak menampik jika beberapa warga desa setempat telah berhasil mengangkat perekonomian keluarga. Selain membangun rumah, mereka juga membeli mobil dan sejumlah fasilitas serta perabotan lain.

“Beberapa di antara mereka yang berhasil itu memulai usahanya dari nol. Dari pekerja di lahan sawit atau petani sampai mengelola sumur minyak. Sejak itulah mereka bisa membangun rumah dan membeli mobil seperti Pajero, CRV, dan Fortuner. Pekerja membeli mobil merek Avanza,” ujar Gunawan.

Begitu juga kehidupan di kalangan anak muda setempat. Biasanya mereka telah menganggur lama dan mendapatkan penghasilan yang baik sejak ada pengeboran minyak. Tidak sedikit anak muda yang membeli motor dan menikah.

“Ya, mereka telah berhasil mengubah hidup. Ada yang membeli motor dan juga beberapa lagi menikah dari hasil bekerja di ladang minyak. Pemuda yang dulu pergi merantau banyak yang kembali ke kampung karena tergiur sumur minyak,” ung kap Gunawan.

Pro-kontra pengeboran minyak di Kecamatan Ranto Peureulak masih bergulir. Di satu sisi, pemerintah belum mengeluarkan kebijakan agar masyarakat dapat memanfaatkan kawasan tersebut secara legal. Akan tetapi, fakta di lapangan, aktivitas warga mengebor minyak masih terus berlangsung.

“Aktivitas pengeboran minyak boleh dihentikan jika berada di lingkungan masyarakat karena membahayakan. Kalau jauh dari permukiman tidak masalah. Ini telah menjadi mata pencaharian warga setempat sejak dulu,” tandas Gunawan. (X-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya