Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Berburu Emas Hitam di Dekat Permukiman (Bagian 1)

Ferdian Ananda Majni
19/6/2018 08:37
Berburu Emas Hitam di Dekat Permukiman (Bagian 1)
Warga beraktivitas di bekas lokasi terbakarnya pengeboran minyak tradisional di Gampong Pasir Putih, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur, pekan lalu.(MI/Ferdian Ananda Majni)

RABU (25/4) dini hari, sebuah sumur minyak milik warga di Gampong Pasir Putih, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur, meledak. Insiden itu menewaskan 22 orang dan melukai puluhan lainnya. Untuk mengetahui aktivitas warga yang mengusahakan sumur minyak di sana, wartawan Media Indonesia Ferdian Ananda Majni menelusuri ke lokasi Mei lalu. Liputannya kami turunkan mulai hari ini.

---------------------------------------------------------------------------

PENGUSIRAN hingga ancaman penembakan meng­usik pikiran siapa saja yang hendak menca­ri tahu tentang keberadaan sumur rakyat di Gam­pong Pasir Putih. Kabar tersebut tidak dibantah awak me­dia lokal. Beberapa dari mereka pun enggan me­nemani Media Indonesia mengunjungi desa tersebut. Padahal, sejumlah aparat kepolisian masih bersiaga di sana. Maklum, meledaknya sumur minyak tersebut menyisakan trauma mendalam bagi warga sekitar.

Akhirnya, dengan ditemani Habibie yang me­mi­liki kerabat di sana, Media Indonesia berangkat ke lokasi sumur minyak di Gampong Pasir Putih dari ibu kota Aceh Timur, Idi Rayeuk.

Di awal Ramadan, suasana perkampungan sepi dari aktivitas penambangan. Beberapa hari se­be­lumnya, di awal Mei, warga menggelar unjuk rasa ketika serombongan pejabat Kementerian Sosial meninjau lokasi ledakan sumur minyak.Warga mengancam akan melakukan kejahatan seperti dulu apabila permintaan mereka tidak dikabulkan.

“Mereka sempat mengancam akan merampok lagi. Dulu, memang ada warga berhenti me­rampok sejak ada sumur minyak di sana,” kata se­orang warga Idi Rayeuk.

Tanda garis polisi yang terputus-putus di sana sini masih terpasang di sekitar lokasi ledakan su­mur minyak. Beberapa warga berlalu lalang. Tidak jauh dari sana, seorang pria duduk di halaman rumahnya memperhatikan Media Indonesia yang berada di puing-puing sisa ledakan dan kebakaran rumah.

Menurut Habibie, dirinya sempat tertarik mendulang rupiah dari pengusahaan su­mur minyak di wilayah itu. Selain bekerja sama dengan seorang kerabat, dia memiliki lahan yang diduga menyimpan minyak. “Saya rugi Rp50 juta untuk modal. Ternyata di lahan saya tidak ada minyak. Saya kapok,” keluh Habibie.

Habibie menuturkan tidak semua pemodal ber­­nasib buruk seperti dirinya. Beberapa warga kini hidup sejahtera karena memanfatkan ha­sil alam tersebut. Tidak tanggung-tanggung, me­reka mampu membangun rumah dan membeli mobil serta harta benda lainnya.

Media Indonesia melihat dengan mata kepala sendiri hampir semua pemuda dan warga mengendarai motor baru. Mereka menaiki motor matic atau sport dan berlalu lalang di seputaran kampung.

Aktivitas penambangan warga kembali normal beberapa hari pascaledakan sumur. Pos polisi berdiri tidak jauh dari kolam yang menjadi tempat penampungan minyak. Pertamina telah mengalihkan aliran gas dan minyak ke tempat yang aman sekitar 300 meter dari sumur. Di sana juga terlihat tiga branwir kecil.

Media Indonesia menyusuri perumahan warga. Sepanjang mata memandang hampir di semua rumah terdapat terpal biru atau bekas pengeboran minyak. Bahkan bebera­pa di antaranya sudah memasang alat pengeboran.

Di sela-sela pepohonan sawit terdapat puluhan sumur minyak. Beberapa warga sedang mengebor. Bunyi mesin bor bersahut-sahutan. Saat Media Indonesia hendak mengambil foto, seseorang mengingatkan agar tidak memotret di lokasi itu.

Hanya berjarak sekitar 100 meter dari perkebunan sawit, aktivitas pengeboran juga berlangsung di dalam lapangan bola. Jarak antartitik pengeboran 5-10 meter dengan jumlah ratusan sumur.

Seorang pemuda yang disapa Acong tampak sibuk menarik mi­nyak mentah dari sumur. Dua tahun ia menekuni pekerjaan itu. Kini, ia sudah menjadi penanggung jawab di  tiga lokasi sumur minyak.

“Setelah lama terhenti, penarikan minyak tidak bagus. Kalau sumur sudah mengandung minyak, tidak bisa dibiarkan, harus diambil. Gasnya sudah banyak, minyak juga tidak stabil,” kata Acong.

Warga menambang minyak dengan peralatan sederhana, yakni menggunakan bor yang ditancapkan sedalam 150 hingga 200 meter lalu digerakkan mesin diesel atau mesin truk. Upah mereka berkisar Rp100 ribu hingga Rp200 ribu untuk sehari kerja.

Acong menyebutkan aktivitas pengeboran minyak selama Ramadan dilakukan seusai salat Subuh hingga menjelang berbuka puasa. Namun, pada hari-hari biasa dilakukan selama 24 jam penuh. Satu sumur menghasilkan 4 drum atau sekitar 800 liter minyak.

“Empat drum itu kami dapatkan dalam sehari semalam. Setelah itu, produksi menurun hingga 1,5 drum setiap hari,” tambah Acong.

Habis begitu saja
Memastikan sebuah sumur itu mengandung minyak membutuhkan waktu sebulan lebih. Setelah itu dirasa layak, anak buah Acong akan memulai pekerjaan pengeboran dengan memasukkan pipa paralon berukur­an 5 inci. Mereka memasang casing pipa sekitar 20 unit.

“Panjang setiap casing sekitar 6 meter. Biasanya lokasi minyak berbeda-beda. Ada yang ditemukan di kedalaman 100 meter hingga 200 meter,” lanjut Acong.

Warga memasang tenda biru saat akan mengebor minyak di samping rumah mereka di Gampong Pasir Putih, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur, pekan lalu.

Dia menyebutkan sumur-sumur yang terdapat di Kecamatan Ranto Peureulak dalam sehari dapat menghasilkan minyak 100 drum lebih. Hasil penjualan minyak dari setiap sumur dibagi sesuai dengan partisipasi setiap orang yang bekerja.

Setelah uang milik pemodal dikembalikan, sisa hasil penjualan minyak dibagi untuk pemilik lahan, para pekerja tetap, pemilik pipa, penanggung jawab makan dan BBM operasional, penyedia casing, dan penyedia peralatan bor.

Kini, harga jual minyak anjlok drastis menjadi hanya Rp500 ribu atau Rp600 per drum. Padahal, sebelum peristiwa ledakan harga jual minyak dari sumur-sumur tersebut mencapai Rp900 ribu hingga Rp1 juta per drum.

“Tetapi tergantung kualitas mi­nyak mentah yang didapatkan. Kalau kualitasnya bagus, harganya bisa mahal. Harga jualnya turun karena faktor musibah. Banyak truk ditangkap aparat saat (minyak) hendak dibawa ke penampungan,” ujar Acong.

Setiap pemodal rata-rata menghabiskan dana di setiap sumur mulai Rp40 juta hingga Rp60 juta. Tergantung tingkat kesulitan dan cepatnya pekerja memperoleh minyak.

“Dalam sebulan, uang hasil penambangan minyak berkisar Rp3 juta hingga Rp5 juta. Saya boros, uang segitu habis begitu saja. Uang minyak tidak berkah, habis begitu saja seperti air minyak mengalir. Makanya saya hanya bisa membeli motor. Uang habis untuk membeli gawai dan pakaian,” aku Acong.

Berbeda ketika Acong masih menjadi buruh sawit. Walau pekerjaan yang dilakukannya membawa berkah, faktor lelah tidak sebanding dengan upah yang diterima sebagai buruh pabrik.

“Biasanya panen sawit bisa sampai 2 ton per hektare. Kini, hanya dipanen sekitar 500 kilogram. Jauh dari produksi sebelumnya. Mau ke sawah, di sini sudah kekurangan area persawahan,” keluh Acong. (X-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya