Headline

Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.

Kebijakan Bebas Becak Picu Urbanisasi

Nicky Aulia Widadio
30/1/2018 10:29
Kebijakan Bebas Becak Picu Urbanisasi
(Aktivitas tukang becak di kawasan Petak Sembilan, Jakarta Barat, pekan lalu---MI/Ramdani)

PERGERAKAN pengayuh becak dari luar Jakarta tidak terelakkan setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan izin kendaraan roda tiga itu beroperasi kembali di Ibu Kota.

Penarik becak baru antara lain terlihat di Kelurahan Pekojan, Tambora, Jakarta Barat. Mereka datang tengah malam dengan menyewa truk.

Pengamat penataan kota asal Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, menilai Anies tidak memperhitungkan dampak dari pernyataannya akan memperbolehkan becak ber-operasi di Ibu Kota.

Yayat menilai wajar jika arus urbanisasi muncul di Ibu Kota terkait dengan rencana Anies tersebut sebab Jakarta selalu menjadi magnet bagi kaum urban, termasuk bagi para pengayuh becak.

“Orang tertarik ngebecak ke Jakarta karena berpikir semua orang punya duit. Bayangannya di Jakarta royal lah, mudah lah. Padahal kebutuhan orang Jakarta sudah lebih dari itu,” papar Yayat saat dihubungi Media Indonesia, Minggu (28/1).

Di saat yang sama, wacana Anies muncul dengan konsep tidak tegas meski belakangan dia dan wakilnya, Sandiaga Uno, menuturkan hanya akan menata becak yang sudah ada di Ibu Kota.

Namun, kebijakan Anies itu telah menyentak memori pengayuh becak yang pernah mengais rezeki di Jakarta untuk kembali, antara lain dari Cirebon, Jawa Barat.

Yayat mengetengahkan kualitas dari sejumlah kebijakan diukur dari kapasitas gubernur membaca hingga dampak yang muncul.

Dalam konteks ini Anies semestinya bisa memperkirakan masalah-masalah yang akan timbul seperti munculnya arus urbanisasi.

“Sekarang wacana itu diberlakukan, tapi belum ada aturan, seakan-akan sudah boleh. Seakan-akan pernyataan itu sudah seperti kebijakan. Akhirnya orang-orang berpikir ‘wah boleh kata gubernur kok’. Ketika gubernur membolehkan, dianggap merupakan diskresi walaupun tidak punya payung hukum,” tandas Yayat.

Selain menimbulkan urbanisasi, Yayat juga mengkhawatirkan kemunculan becak bisa memicu persoalan sosial. Secara sosiologis, ada kecenderungan para pengayuh becak melanggar aturan meski ditata, terutama jika ada permintaan dari penumpang untuk mengantar hingga titik-titik yang sebetulnya tak dibolehkan bagi mereka. Belum lagi jika nyatanya kebutuhan masyarakat atas becak tidak sebesar yang diperkirakan Anies.

“Sampai sekarang tidak diketahui supply dan demand, berapa jumlah kebutuhannya. Kalau becaknya datang 1.000, yang pakai cuma 10, ya berantem. Kita kan harus tahu yang pakai berapa. Kalau 10-20 di satu kelurahan masih bisa, tapi kalau terlalu banyak nanti merugikan tukang becak itu sendiri,” sambungnya.

Awalnya gang
Hal senada juga disampaikan mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso. Pria yang akrab disapa Bang Yos itu secara terbuka membagi pengalaman semasa ia menghidupkan kembali becak sebagai salah satu upaya memperbaiki krisis ekonomi pada 1998. “Awalnya sama, (dibolehkan) di gang-gang juga,” kata Sutiyoso kepada Media Indonesia.

Seusai pernyataan Gubernur Sutiyoso memerbolehkan di gang-gang, dalam waktu sepekan muncul arus urbanisasi para pengayuh becak dari daerah ke Jakarta. Jumlahnya mencapai ribuan. Mereka berpikir mengayuh becak di Ibu Kota akan lebih menguntungkan ketimbang di kampung halaman mereka. Apalagi kala itu krisis ekonomi melanda secara nasional.

Pemprov DKI lantas menertibkan becak-becak tersebut. Keberadaan mereka sudah menggangu sebab beroperasi tak hanya di area permukiman sesuai izin awal, tapi juga masuk ke jalan raya. Satpol PP DKI pun dikerahkan untuk merazia.

“Tidak jarang terjadi bentrok fisik antara tukang becak dan aparat Satpol PP. Meskipun dilarang secara masif, ternyata mereka tidak memedulikan,” kenang mantan Pangdam Jaya itu.

Seingat dia, ada ribuan becak yang disita jajaran Satpol PP. Tak lama berselang, Sutiyoso pun dengan tegas melarang operasional becak di Jakarta. Di penghujung jabatan Sutiyoso pada 2007, becak termasuk salah satu kendaraan yang dilarang dalam Peraturan Daerah Nomor 8 tentang Ketertiban Umum.

“Saya tidak ingin menggurui, hanya berbagi pengalaman. Kalau gubernur sekarang punya jurus-jurus ampuh untuk mengantisipasi dampaknya, ya silakan,” tambahnya.

Gubernur DKI Anies Baswedan masih tenang menghadapi kemungkinan terjadinya urbanisasi becak ke Ibu Kota dalam jumlah besar. Salah satu jurus yang akan diterapkan untuk mengendalikan ialah dengan pemasangan stiker.

“Rencananya, becak-becak yang nantinya boleh beroperasi akan kami pasangi stiker khusus. Stiker itu sebagai pe-nanda becak dapat beroperasi secara legal,” jawabnya di Balai Kota DKI, kemarin.

Selain berfungsi sebagai penanda, stiker-stiker tersebut juga berfungsi untuk mengetahui jumlah becak yang beroperasi. “Sekarang kami masih mendata. Kami catat nama-nama warga yang menarik becak, kemudian kami tempelkan stikernya,” tutur Anies.

Jika pendataan selesai, kata Anies, becak-becak dari luar Jakarta tidak akan diperkenankan beroperasi di Ibu Kota. “Sebetulnya para pengemudi becak yang ada di Jakarta tidak ingin ada becak-becak baru masuk dari luar.” (Ant/J-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya