Headline
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
PENGGALAN puisi Karawang-Bekasi mengingatkan kembali sejarawan Ali Anwar akan ribuan nyawa tak bersalah yang dibantai habis tentara Nederlandsch Indie Civil Administratie (NICA) pada 1945-1949 setelah kemerdekaan.
Peristiwa berdarah itu bermula dari kembalinya Belanda, yang kali ini telah beralih rupa dengan nama NICA, hanya beberapa hari setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Dengan bertopeng sebagai bagian dari pasukan sekutu yang ingin melucuti tentara Jepang di Indonesia, Belanda ingin menguasai kembali bekas daerah jajahan mereka.
'Negeri Kincir Angin' itu tak rela kehilangan wilayah jajahan yang dulu menghidupi Belanda selama beratus-ratus tahun lamanya.
Setelah mendapati daerah jajahan mereka telah memproklamasikan diri sebagai negara merdeka, Belanda menempuh jalur perundingan agar Indonesia kembali dalam genggaman.
Perjanjian resmi pertama yang dilakukan Belanda dan Indonesia setelah kemerdekaan ialah Perundingan Linggarjati pada 11 November 1946. Van Mook bertindak sebagai wakil Belanda yang mendapat amanat dari Ratu Wilhelmina menjadikan Indonesia sebagai bagian dari negara persemakmuran Belanda.
Perundingan itu menghasilkan sejumlah kesepakatan: Belanda mengakui Jawa dan Madura sebagai wilayah RI secara de facto, Belanda meninggalkan wilayah RI paling lambat 1 Januari 1949, Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara RIS (Republik Indonesia Serikat), dan RIS menjadi negara persemakmuran di bawah naungan Belanda.
Tentu saja kesepakatan itu langsung mengundang pro-kontra anak negeri karena pada akhirnya nanti tetap saja Indonesia menjadi bawahan Belanda. Namun, pada situasi saat itu, para petinggi pemerintahan tak punya jalan lain selain jalur diplomasi karena belum kuatnya angkatan perang yang dimiliki Indonesia.
Ingkar janji
Manis di mulut, lain di hati. Begitu perangai asli pasukan Belanda saat itu. Tak lama setelah Perjanjian Linggarjati diteken, pasukan Belanda berulah dan memicu bentrokan di sejumlah daerah.
Hingga akhirnya, 15 Juli 1947, Van Mook mengeluarkan ultimatum agar pemerintah Indonesia menarik mundur pasukan sejauh 10 kilometer dari garis demarkasi yang telah disepakati. Tentu saja ultimatum itu ditolak pemerintah Indonesia.
Makin tak sabar, tepatnya pada 20 Juli 1947, Van Mook pun mengumumkan penarikan diri Belanda dari Perundingan Linggarjati. Agresi militer pertama pun digelar Belanda pada 21 Juli 1947.
Menurut Ali Anwar, sejarawan dari Universitas Indonesia, aksi agresi militer itu bertujuan kembali merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak.
Namun, sebagai kedok agar wajah tak tercoreng di mata dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer itu sebagai Aksi Polisionil dan menyatakan tindakan itu sebagai urusan dalam negeri.
"Salah satu daerah sasaran dalam aksi itu ialah Bekasi-Karawang sebab saat itu sepanjang Bekasi hingga Karawang merupakan jalur logistik perkeretaapian. Daerah itu pun merupakan wilayah subur pertanian sehingga untuk mengamankan pasokan bahan pokok tentara, Belanda ingin menguasai dua daerah tersebut," tutur Ali.
Namun, masuk ke Bekasi dan Karawang ternyata tak semudah yang dibayangkan Belanda. Pertahanan tentara Indonesia di perbatasan Jakarta-Bekasi terkenal kuat. Berkali-kali tentara Belanda mencoba menjebol pertahanan, tetapi selalu gagal.
Mereka berusaha masuk ke Bekasi melalui tiga jalur. Jalur pertama melalui Cilincing, Sukapura, serta Tarumajaya dan Babelan. Jalur kedua melalui jalur tengah dari Jalan Raya Pantura, Pulo Gadung, Cakung, dan Bekasi. Jalur ketiga melalui Klender dan Pondok Gede.
"Setelah membombardir berhari-hari, akhirnya Belanda berhasil memukul mundur tentara kita dan saat itulah bakal peristiwa Karawang-Bekasi dimulai," urai Ali.
Indonesia masih ada
Pertahanan Indonesia yang ada di sepanjang wilayah Pulo Gadung, Jakarta Timur, akhirnya mundur ke daerah Kali Cakung. Terus mudur ke daerah Kranji hingga akhirnya mundur telak ke daerah Kali Sasak Jarang di Bulak Kapal, Bekasi Timur.
"Setelah pertahanan bisa dibobol tentara Belanda, Kota Bekasi sebagai garda depan pertahanan sudah dalam kondisi porak-poranda. Sepanjang wilayah tersebut sudah dikuasai NICA yang mencoba menjajah lagi Indonesia," kata Ali.
Di tengahnya genting keadaan, salah seorang ulama yang tengah mengungsi di Bekasi KH Noer Ali mencoba menghadap Jenderal Oerip Soemohardjo di Yogyakarta untuk meminta petunjuk.
Jenderal Oerip pun mengeluarkan amanat agar para pejuang tetap bertahan dengan catatan mereka dilarang menggunakan seragam bahkan senjata untuk memukul mundur para penjajah.
Atas petuah Jenderal Oerip, Haji Noer Ali pun mulai bergerilya di Jawa Barat dengan tidak menggunakan nama TNI. Ia kembali ke Jawa Barat dengan berjalan kaki dan mendirikan sekaligus menjadi Komandan Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya di Karawang. Tujuannya menunjukkan pertahanan Indonesia masih ada.
KH Noer Alie memerintahkan pasukannya bersama masyarakat di Tanjung Karekok, Rawagede, dan Karawang membuat bendera Merah Putih ukuran kecil dari kertas.
Ribuan bendera tersebut lalu ditancapkan di tiap pohon dan rumah penduduk. Itu dilakukan untuk membangkitkan moral rakyat bahwa di tengah-tengah kekuasaan Belanda masih ada pasukan Indonesia yang terus melakukan perlawanan.
Pembantaian Rawagede
Setelah terbakarnya semangat karena dukungan moral dari penduduk, pasukan TNI Divisi Siliwangi yang dipimpin Kapten Lukas Kustario pun melakukan perlawanan. Aksinya pun terbilang nekat dalam menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda.
Bersama pasukannya, ia dikenal sebagai ahli sabotase, pertempuran brutal, dan penyergapan yang dilakukan secara mendadak di pos-pos Belanda. Seluruh gudang logistik pasukan Belanda di Karawang sampai Subang dihancurkannya.
Lukas pun pernah membajak rangkaian kereta yang berisi penuh senjata dan amunisi bagi pasukan Belanda dari Karawang menuju Jakarta.
Kapten Lukas juga mendapat julukan 'Begundal Karawang' karena aksinya yang kerap nyeleneh. Ia suka mengenakan baju seragam tentara Belanda yang baru saja dibunuhnya, dan dengan seragam itu, dia tembaki tentara Belanda yang lain.
Dengan 'titelnya' sebagai 'Bandit van Karawang', Lukas menjadi orang nomor satu yang paling dicari pasukan Belanda.
Saat akan menyerang pos besar Cililitan, Lukas menggunakan Desa Rawagede, Karawang, sebagai tempat pemusatan kekuatan pasukan tentara-laskar. Namun, gerakannya itu terbaca oleh intelijen Belanda.
Senin malam, tepatnya 8 Desember 1947, di bawah pimpinan Mayor Alphons Wijjnen, pasukan dan alat artileri berat Belanda mengepung kampung yang tak jauh dari Stasiun Kereta Api Kawarangan itu. Lewat Silent Operation, dengan tangan kosong, pasukan Belanda membunuh siapa pun yang keluar kampung itu.
Keesokan paginya, pasukan Belanda masuk ke kampung tersebut. Namun, Kapten Lukas rupanya sudah tak ada di tempat. Bersama pasukannya, ia sudah berada di Sukatani dalam perjalanannya menuju Cililitan.
Karena dongkol tak mendapat buruan, Mayor Alphons pun memerintahkan penangkapan seluruh warga desa. Empat ribu warga desa terkumpul pagi itu. Mereka dipaksa bicara soal keberadaan Kapten Lukas. Semuanya tutup mulut, tak satu pun bersuara.
Selasa, 9 Desember 1957, Mayor Alphons memerintahkan tembak mati seluruh laki-laki kampung tersebut. Dalam sekejap, desa yang kini bernama Desa Balongsari itu berubah menjadi kampung janda.
Di jalan utama desa itu kini berdiri Monumen Rawagede sebagai pengingat seperti apa wajah asli Belanda di masa itu. Di dalam monumen, sebuah puisi karya Chairil Anwar berjudul Karawang-Bekasi menemani tulang-tulang para pahlawan tersebut.(J-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved