Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Satelit Bantu Lindungi Gajah Gurun yang Terancam Punah di Namibia

Novianto Ryan R
03/8/2025 11:24
Satelit Bantu Lindungi Gajah Gurun yang Terancam Punah di Namibia
Ilustrasi(freepik)

SEBUAH inovasi konservasi di Namibia kini memanfaatkan teknologi satelit dan sistem pelacakan GPS. Penggunaan teknologi itu untuk melindungi gajah gurun dari ancaman konflik mematikan dengan manusia. 

Sistem ini berfungsi untuk memantau pergerakan gajah dan memberi peringatan kepada masyarakat lokal. Dengan cara ini, diharapkan interaksi antara manusia dan hewan liar bisa berlangsung lebih aman.

Diperkirakan ada sekitar 24.000 gajah di Namibia. Namun, hanya sekitar 150 ekor yang masih bertahan di daerah Kunene barat.

Gajah-gajah ini telah beradaptasi dengan kerasnya lingkungan gurun. Tetapi kekeringan dan kerusakan habitat membuat mereka mendekati permukiman demi mencari sumber air. Hal ini meningkatkan risiko konflik yang bisa berujung pada kematian gajah atau kerugian bagi manusia.

Berbagai faktor memperparah konflik ini. Masyarakat kerap takut pada gajah, apalagi jika terjadi kerusakan pada lahan pertanian atau infrastruktur.

Ketegangan makin tinggi karena masyarakat lokal kehilangan pengetahuan tradisional untuk berinteraksi dengan gajah. Pengetahuan itu hilang sejak masa perang kemerdekaan Namibia di akhir abad ke-20.

Sejak itu, banyak pendatang baru yang tinggal di kawasan tersebut tanpa pemahaman memadai soal perilaku gajah. Sebagai langkah respons, organisasi Elephant-Human Relations Aid (EHRA) memasang perangkat GPS di leher tiga gajah pada 2021.

Data pergerakan gajah tersebut diintegrasikan dengan sistem bernama “Earth Ranger”. Sistem ini akan mengirimkan peringatan kepada warga saat gajah mendekati pemukiman atau lahan pertanian.

Pendekatan ini terbukti efektif mengurangi kejadian berbahaya antara manusia dan gajah. 

Teknologi ini juga didukung citra satelit resolusi tinggi dari Pleiades Neo milik Airbus. Dengan penggabungan data ini, para peneliti bisa mengenali pola pergerakan gajah berdasarkan musim. Mereka juga dapat menentukan lokasi rawan konflik.

Informasi tersebut digunakan untuk merancang langkah mitigasi. Misalnya, melindungi sumber air alami, atau membangun bendungan dan palung di lokasi strategis. Dengan cara itu, gajah tak perlu lagi melintasi desa untuk mencari air.

Manajer Program Konservasi EHRA, Christin Winter, menyatakan gajah memiliki ingatan yang kuat. Mereka bisa mengingat pengalaman menyedihkan akibat kontak dengan manusia.

Karena itu, gajah cenderung berjalan di malam hari dan menjauh saat mendeteksi kehadiran manusia.

Citra satelit juga membantu membangun komunikasi antara peneliti dan petani.

Dalam satu kasus, seorang petani melihat data pergerakan gajah yang sering melintasi sebagian kecil lahannya. Setelah mengetahui hal itu, ia bersedia menyerahkan area tersebut untuk dijadikan jalur lintasan gajah.

Tujuannya agar sisa lahannya tetap aman dari kerusakan.

Inisiatif ini menargetkan pelestarian koridor alami gajah gurun. Dengan menciptakan habitat yang lebih aman, risiko konflik dapat ditekan.

Proyek ini tak hanya berfokus pada penyelamatan gajah dari ancaman kepunahan, tapi juga menjaga ketenteraman masyarakat sekitar. Pendekatan berbasis data ini menjadi contoh nyata bagaimana teknologi modern bisa membantu konservasi satwa langka.

Melalui kerja sama komunitas lokal dan ilmuwan, ditopang teknologi mutakhir, masa depan gajah gurun di Namibia terlihat lebih cerah.

Upaya perlindungan satwa tak hanya bergantung pada kebijakan. Pemanfaatan data dan teknologi menjadi kunci menghadapi tantangan konservasi di masa kini. (space/Z-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya