Headline
Sebaiknya negara mengurus harga barang dulu.
'END of Separation, Beginning of Unification (akhir pemisahan, awal penyatuan)'.
Begitu tulisan yang terpampang di atas pintu masuk kawasan Demilitiarized Zone (DMZ), Korea Selatan.
Hari itu, Selasa (25/10), puluhan jurnalis dari ASEAN, termasuk Media Indonesia, mengunjungi kawasan perbatasan Korea Selatan dan Korea Utara tersebut.
Kunjungan itu merupakan bagian dari ASEAN Media People's Visit to Korea yang berlangsung 22-29 Oktober 2016.
Meski dijaga sejumlah tentara, DMZ tersebut jauh dari kesan angker.
DMZ bahkan jadi objek turis.
Beberapa turis asing dan sejumlah murid sekolah hari itu juga tampak mengunjungi kawasan tersebut.
Dari tempat itu, pengunjung dapat melihat wilayah Korea Utara, tetangga sekaligus seteru utama Korsel, melalui beberapa teropong yang disediakan.
Dua Korea yang sebetulnya serumpun ini menjadi korban perseteruan politik pasca-Perang Dunia II.
Seusai perang pada 1945, wilayah ini menjadi daerah yang dipersengketakan para pemenang, dalam hal ini pasukan sekutu.
Lewat perjanjian Postdam, dua wilayah ini dibagi dua, utara untuk Uni Soviet (Rusia) dan selatan dikuasai Amerika Serikat.
Tiga tahun berselang, tepatnya 15 Agustus 1948 Amerika Serikat membentuk Republik Korea (Korea Selatan) beribu kota di Seoul, dengan Syngman Rhee sebagai presiden pertama.
Seperti tak mau kalah, pada 9 September 1948 Soviet pun membentuk Republik Demokrasi Rakyat Korea (Korea Utara) beribu kota di Pyongyang, dengan Kim II-sung sebagai presiden pertamanya.
Sejak itu, dua negara ini berseteru secara ideologis hingga memuncak dengan agresi Korut ke Korsel yang memicu Perang Korea pada 1950-1953.
Seusai perang itu berakhir, hubungan kedua negara tak pernah sepenuhnya akur.
Bahkan, dalam setahun terakhir, konflik kedua negara semenanjung itu kembali memanas.
Korut yang dikucilkan dunia internasional beberapa kali memprovokasi dengan melakukan uji coba nuklir dan meluncurkan rudal balistik ke laut lepas.
Sebagai balasannya, pada Februari lalu, Korsel menutup kompleks industri Kaesong dan berbuntut pada pengusiran warga Korsel oleh Korea Utara (Korut).
Kaesong sendiri merupakan sebuah kompleks industri yang dikelola bersama oleh kedua negara Korea.
Letaknya berjarak 10 kilometer menyeberang ke dalam perbatasan Korea Utara.
Dalam paparannya, Profesor Lee Sang-hyun dari The Sejong Institute, sebuah lembaga think thank di Korsel, menyatakan Korut diyakini setidaknya memiliki 10-20 senjata nuklir yang beberapa di antaranya dibuat dalam bentuk hulu ledak mini yang ditempatkan dalam rudal.
"Belum jelas berapa jauh jangkauannya," ujar dia saat memberikan taklimat kepada sejumlah jurnalis ASEAN di Sejong Institute, Korsel, Rabu (26/10).
Menurut dia, perubahan geopolitik dan geoekonomi saat ini telah memicu ketegangan di kawasan Pasifik dan tidak tertutup kemungkinan dapat memantik perang di semenanjung Korea.
Perubahan yang dia maksud antara lain munculnya keinginan mengembalikan status quo dari sejumlah negara seperti Rusia, Tiongkok, dan Iran.
Dia melihat Rusia kini bersaing dengan Uni Eropa dalam konflik Krimea.
Begitu juga dengan perang saudara di kawasan Timur Tengah yang membuat Iran mesti memperkuat posisi.
Tiongkok bersaing dengan Jepang di kawasan Asia.
Dengan melihat perkembangan itu, kata dia, penting bagi Korsel untuk menjalin dan memperkuat persahabatan dengan negara-negara ASEAN.
Dalam pertemuan antara menteri luar negeri negara-negara ASEAN dan Korsel di Vientiane, Laos, 25 Juli 2016 lalu, Menlu RI Retno Marsudi menyatakan keprihatinannya terhadap situasi di semenanjung Korea dengan kembali adanya uji coba rudal oleh Korea Utara baru-baru ini.
Hal itu, kata dia, tidak sejalan dengan resolusi Dewan Keamanan PBB. Dia meminta semua pihak untuk saling menahan diri dan menghormati hukum internasional.
Imbauan itu mungkin sekadar harapan. Seperti halnya tulisan di pintu masuk kawasan DMZ itu yang barangkali menjadi impian sebagian warga Korea, tetapi pada kenyataannya kini jauh panggang dari api.
Semua itu, tentu bergantung pada gerak bandul politik dari para pemimpin dunia, termasuk tentu saja Donald Trump, presiden terpilih Amerika Serikat, negara yang selama ini menjadi sekutu utama Korsel. (Dio/I-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved