Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Ekonomi Tiongkok Terluka Akibat Kenaikan Kasus Covid-19

Fetry Wuryasti
12/4/2022 10:13
Ekonomi Tiongkok Terluka Akibat Kenaikan Kasus Covid-19
Kantor bursa saham di Shanghai.(Antara )

Tiongkok kembali menorehkan rekor baru atas kasus harian Covid-19 mencapai 26 ribu jiwa, di tengah lockdown yang tengah diterapkan sejak Februari lalu.

Pembatasan aktivitas juga terlihat di Guangzhou yang menerapkan sekolah online untuk para pelajar. Warga pun diminta untuk tidak meninggalkan kota.

Memburuknya pandemi memberikan kekhawatiran investor dan berdampak pada pasar modal Tiongkok secara keseluruhan. Perlambatan ekonomi memang sudah terjadi dari tahun lalu akibat krisis utang Evergrande yang merupakan raksasa properti Tiongkok.

Default yang terjadi tersebut cukup berdampak pada perekonomian sebab sektor properti menyumbang sekitar 20% terhadap GDP. Lalu, kebijakan zero-covid turut memparah kondisi tersebut. Pasalnya, varian demi varian terus berkembang.

"Pertanyaannya, sampai kapan pemerintah Tiongkok akan mempertahankan kebijakan tersebut di kala dunia yang sudah mencanangkan untuk hidup berdampingan dengan pandemi atau dikenal dengan endemi," kata Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus, Selasa (12/4).

Alhasil, pukulan tengah dirasakan. Di pasar surat utang, spread yield antara US Treasury dan Obligasi 10Y Tiongkok bergerak ke teritori negatif, terendah sejak Juni 2010. Premi imbal hasil pun yang mengkompensasi risiko investasi sudah turun hingga lebih dari 100 bps di sepanjang tahun berjalan.

Hal ini mengindikasikan pudarnya daya tarik investasi di pasar surat utang Tiongkok. Sehingga, terjadi outflow mencapai RMB90 miliar atau setara US$14 miliar. Kondisi tersebut membuat bank sentral Tiongkok (PBoC) mensinyalir kebijakan moneter ultra-longgarnya, di mana adanya rencana pemangkasan suku bunga pinjaman untuk stimulus stabilisasi pasar uang negaranya.

Tekanan juga tengah terasa di pasar saham Tiongkok, dengan koreksi cukup tajam terjadi hingga -12,99% pada indeks Shanghai sepanjang tahun. Bahkan, beredar kabar bahwa otoritas Tiongkok melakukan intervensi dengan meminta perusahaan asset management di sana untuk membatasi penjualan saham dari produk reksa dana untuk mengurangi risiko koreksi lebih tajam.

Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa upaya demi upaya dilakukan untuk mencegah memburuknya pasar modal Tiongkok. Meski demikian, rilis data pertumbuhan kredit Tiongkok tampak bergerak lebih cepat walaupun pelemahan masih terlihat pada utang jangka panjang atau mortgage yang masih dipengaruhi oleh sentimen penurunan sektor properti.

"Kami melihat tekanan pada pasar modal Tiongkok masih akan terjadi baik di pasar saham dan pasar surat utang secara jangka pendek. Tinggal seberapa cepat kebijakan pemerintahnya mampu mengendalikan kasus Covid-19 yang saat ini tengah memburuk," kata Nico.

Apalagi, ekonomi AS yang membaik dan rencana kenaikan suku bunga The Fed dapat terus memicu aliran dana asing keluar dari Tiongkok. Kami melihat bahwa Tiongkok tidak boleh segan atau sungkan untuk mengeluarkan kebijakan yang mendorong perekonomian. Sebab apabila situasi dan kondisi kali ini tidak dibarengi dengan bauran kebijakan baik fiskal maupun moneter, dikhawatirkan perekonomian Tiongkok akan terus mengalami pelemahan yang mungkin lebih dalam.

"Oleh karena itu, kami melihat bahwa Tiongkok arus bergerak lebih cepat dan fleksibel terkait dengan memberikan stimulus kepada perekonomian negaranya," kata Nico. (OL-12)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Retno Hemawati
Berita Lainnya