Headline
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
TOKOH anti-apartheid Afrika Selatan Desmond Tutu meninggal pada Minggu di usia 90 tahun. "Meninggalnya Uskup Agung Emeritus Desmond Tutu adalah babak duka lainnya dalam perpisahan bangsa kita dengan generasi Afrika Selatan yang luar biasa yang telah mewariskan kepada kita Afrika Selatan yang dibebaskan," kata Presiden Cyril Ramaphosa dalam sebuah pernyataan.
"Desmond Tutu adalah seorang patriot tanpa tandingan," ucapnya. "Seorang pria dengan kecerdasan yang luar biasa, integritas dan tak terkalahkan melawan kekuatan apartheid," tambahnya.
Baca juga: Dua Relawan Hilang Dalam Serangan Maut di Myanmar
Sebagai seorang aktivis yang tak kenal lelah, Tutu memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1984 karena memerangi aturan minoritas kulit putih di negaranya.
Terkenal blak-blakan, bahkan setelah jatuhnya rezim apartheid rasis, Tutu tidak pernah menghindar dari menghadapi ketidakadilan di Afrika Selatan.
Tutu lah yang menciptakan dan mempopulerkan istilah "Bangsa Pelangi" untuk menggambarkan Afrika Selatan ketika Nelson Mandela menjadi presiden kulit hitam pertama di negara itu.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, Tutu bahkan mengecam Kongres Nasional Afrika (ANC) yang berkuasa -- garda depan perjuangan melawan kekuasaan minoritas kulit putih -- atas kronisme dan nepotisme setelah apartheid berakhir pada 1994.
Di masa lalu, dia telah menghadapi homofobia di Gereja Anglikan, menantang Mandela atas gaji yang besar untuk menteri kabinet dan dengan keras mengkritik korupsi yang menjamur di bawah mantan Presiden Jacob Zuma.
Ditahbiskan pada usia 30 tahun dan diangkat menjadi Uskup Agung pada tahun 1986, dia menggunakan posisinya untuk mengadvokasi sanksi internasional terhadap apartheid, dan kemudian untuk melobi hak-hak secara global.
Tutu didiagnosis menderita kanker prostat pada 1997 dan menjalani pengobatan berulang.
Dia telah pensiun setahun sebelumnya untuk memimpin perjalanan mengerikan ke masa lalu yang brutal di Afrika Selatan, sebagai kepala Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Selama 30 bulan, komisi itu mengungkap kengerian apartheid.
Tutu lahir di kota kecil Klerksdorp, sebelah barat Johannesburg, pada 7 Oktober 1931, dari seorang pekerja rumah tangga dan seorang guru sekolah.
Dia dilatih sebagai guru sebelum kemarahan pada sistem pendidikan rendah yang dibuat untuk anak-anak kulit hitam mendorongnya untuk menjadi seorang pendeta.
Dia tinggal sebentar di Inggris, di mana, kenangnya, dia tidak perlu menanyakan arah hanya untuk dipanggil "Tuan" oleh seorang polisi kulit putih.
Tutu tanpa henti menantang status quo pada isu-isu seperti ras, homoseksualitas dan doktrin agama.
"Saya telah mempersiapkan kematian saya dan telah menjelaskan bahwa saya tidak ingin tetap hidup dengan segala cara," katanya dalam sebuah opini di The Washington Post pada 2016.
"Saya harap saya diperlakukan dengan belas kasih dan diizinkan untuk melanjutkan ke fase berikutnya dari perjalanan hidup dengan cara yang saya pilih," katanya. (AFP/OL-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved