Maskapai Penerbangan Dunia Berkomitmen Capai Emisi Nol pada 2050

Kevino Dwi Velrahga
06/10/2021 12:17
Maskapai Penerbangan Dunia Berkomitmen Capai Emisi Nol pada 2050
Pesawat milik maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia.(AFP/CHAIDEER MAHYUDDIN)

MASKAPAI penerbangan dunia, Senin (4/10), berkomitmen mencapai emisi karbon bersih pada 2050. Hal itu tetap dicanangkan bahkan ketika ada wacana dampak pandemi akan terus meluas hingga tahun depan.

"Untuk penerbangan, kebijakan emisi karbon bersih adalah sebuah komitmen yang berani dan cukup nekat. Tapi itu harus dilakukan," ujar Direktur Jenderal Asosiasi Pengangkutan Udara Internasional (IATA)  Willie Walsh dalam pertemuan para petinggi maskapai di Boston.

"Keputusan penting yang kita buat hari ini akan menjamin kebebasan terbang untuk generasi mendatang," lanjutnya.

Baca juga: Kini, Ada Robot yang Berpatroli di Singapura

Janji perihal emisi nol karbon itu muncul saat Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP26) di Inggris, Senin (20/9). Ide ini mulai tercetus setelah meningkatnya tuntutan publik terhadap isu perubahan iklim. 

Selepas itu, IATA mewakili 290 maskapai yang terdiri dari 82 persen lalu lintas udara global pra-pandemi, berjanji akan mengikuti jejak industri penerbangan Eropa yang telah mencapai tujuan emisi Uni Eropa.

Komitmen baru datang setelah 12 tahun, IATA meluncurkan rencana pertamanya untuk mengurangi emisi CO2 pada industri penerbangan sebesar 50% saat berada pada 2050. Pengurangan emisi sebesar 50% ini akan dibandingkan dengan tingkat emisi tahun 2005.

Namun, Walsh mengatakan dalam pertemuan itu bahwa pihak maskapai harus mengambil tindakan yang lebih tegas mengingat urgensi masalah tersebut. 

Karena berdasarkan data, industri penerbangan saat ini menyumbang sekitar 3% dari emisi global. Untuk mencapai tujuan emisi nol, diperlukan peningkatan yang stabil dari bahan bakar jet terbarukan, peningkatan efisiensi, penyimpanan dan penyeimbangan penangkapan karbon.

Walsh meyakinkan bukti iktikad baik dari maskapai penerbangan dalam isu ini ialah menginvestasikan ratusan miliar dolar dalam pesawat yang lebih hemat bahan bakar. Selain itu, efisiensi bahan bakar armada pesawat juga turut meningkat lebih dari 20 persen dalam satu dekade.

Sesuai dengan undang-undang IATA, pengambilan keputusan untuk kebijakan ini tidak memerlukan pemungutan suara. Cukup dilakukan secara konsensus karena tidak ada anggota yang mengajukan keberatan yang menghalangi kebijakan tersebut berjalan.

Akan tetapi, maskapai Tiongkok dalam pertemuan tersebut sempat mengomentari tujuan 2050 bebas emisi karbon tidak konsisten dengan tujuan yang diadopsi oleh pemerintah mereka di Beijing. Pemerintah Tiongkok sendiri baru bertujuan untuk netralitas karbon pada 2060.

Lebih Banyak Kerugian ke Depannya

"Banyak orang di ruangan ini — secara individu atau kelompok — telah mengambil langkah ini. Bagi yang lainnya, ini akan menjadi beban tambahan pada waktu yang sangat sulit seperti sekarang," kata Walsh kepada para eksekutif.

Sebelumnya, IATA turut memublikasikan akuntansi tinta merah terbaru yang dihadapi industri penerbangan setelah pandemi. 

Maskapai penerbangan global akan kehilangan sekitar US$51,8 miliar tahun ini dan US$11,6 miliar lagi pada 2022. 

Walsh menerangkan kerugian akan berdampak sangat besar, tetapi optimis industri ini akan bertahan dan melewati bagian terdalam dari krisis yang terjadi

Setelah krisis, Walsh percaya situasi akan berangsur-angsur pulih. Fase pemulihan sendiri menurutnya bervariasi tergantung wilayah. Amerika Utara adalah satu-satunya wilayah yang diproyeksikan menghasilkan keuntungan positif pada 2022.

IATA juga berujar bahwa Eropa diperkirakan akan tetap berada di zona merah dengan kerugian US$9,2 miliar pada 2022. Hal ini merupakan penurunan yang cukup baik dibandingkan dengan perkiraan kerugian tahun ini yang berjumlah US$20,9 miliar. 

Operator di kawasan tersebut akan memanfaatkan peluang dalam penerbangan domestik, tetapi perjalanan jarak jauh atau penerbangan dengan skala internasional akan tetap terbatas. 

Sementara untuk operator di kawasan Asia-Pasifik, Amerika Latin, Timur Tengah, dan Afrika semuanya diperkirakan akan mengalami kerugian yang lebih kecil pada tahun 2022 dibandingkan dengan tahun ini.

IATA memproyeksikan jumlah penumpang total 3,4 miliar pada 2022. Hal ini serupa dengan jumlah penumpang tahun 2014. Namun, jumlah ini masih di bawah 4,5 miliar jika dibandingkan dengan jumlah penumpang total 2019.

"Orang-orang tidak kehilangan keinginan mereka untuk bepergian, seperti yang kita lihat dalam ketahanan pasar domestik yang solid. Akan tetapi, minat mereka untuk melakukan perjalanan internasional ditahan oleh pembatasan, ketidakpastian, dan kerumitan kebijakan suatu negara," tutur Walsh. 

Menurutnya, banyak pemerintahan suatu negara untuk saat ini melihat vaksinasi sebagai jalan keluar dari krisis yang terjadi. (AFP/OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya