Headline

PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia

Fokus

MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan

Konflik di Idlib Mereda setelah Gencatan Senjata

Nur Aivanni
07/3/2020 05:20
Konflik di Idlib Mereda setelah Gencatan Senjata
Turki dan Rusia sepakat untuk menahan pertempuran di Idlib, Kamis, setelah dua kepala negara berunding di Moskow.(Omar HAJ KADOUR / AFP)

WILAYAH Idlib, Suriah, mulai sepi, tetapi masih diliputi ketegangan, Jumat, tanda kon­flik antara pihak pemerintah yang didukung Rusia dan kelompok pemberontak yang didukung Turki mulai mereda setelah ada gencatan senjata antara Presiden Vladimir Putin dan Presiden Tayyip Erdogan, Kamis (5/3).

Menurut keterangan penduduk setempat, tak ada serangan udara dari militer Rusia dan Suriah ke wilayah pemberontak setelah ada gencatan senjata.

Turki dan Rusia sepakat untuk menahan pertempuran di Idlib, Kamis, setelah dua kepala negara berunding di Moskow. Pasalnya, pertempuran di Idlib telah memaksa jutaan warga mengungsi dalam waktu tiga bulan terakhir.

Para warga dan pejuang di wilayah itu mengatakan area garis perbatasan sepi dan tenang pada tengah malam di saat gencatan senjata mulai berlaku.

Sebelumnya, dua pihak bertempur hebat di wilayah tersebut. Rusia dan Suriah menyerang wilayah pemberontak dengan jet tempur, sedangkan pasukan artileri Turki dan serangan drone merusak pangkalan militer milik pemerintah Suriah di bawah pimpinan Presiden Bashar al-Assad.

Tidak hanya di Idlib, pertempuran di wilayah lain juga mulai mereda. “Dalam 1 jam pertama, kami melihat tensi antarpihak mulai reda,” kata Ibrahim Al-Idlibi, tokoh oposisi yang dekat dengan kelompok pemberontak.

“Tiap orang sadar pelanggaran yang dilakukan pihak manapun akan ada konsekuensinya. Namun, gencatan senjata ini cukup rentan (dilanggar),” tambah dia.

Untuk saat ini, mereka sepakat untuk membangun jalur aman dekat jalur M4 yang membentang dari timur ke barat melalui Idlib. Kedua pihak juga sepakat mengadakan patroli bersama pada 15 Maret.

Bagi Suriah, yang didukung Rusia merebut kekuasaan di wilayah barat laut dari pemberontak, jadi misi penting untuk membangun perekonomian di tengah embargo atau sanksi dari pihak lain.

Oposisi Assad geram

Para oposisi Assad geram karena perjanjian itu tidak menetapkan zona aman yang seharusnya jadi tempat bagi jutaan pengungsi untuk membangun permukim­an sementara setelah rumah mereka terdampak konflik.

“Tidak ada yang menyebut zona aman atau daerah bebas (senjata, red). Tidak ada penarikan pasukan militer dan ke mana para pengungsi ini harus pergi? Mereka tidak akan diterima di daerah yang dikuasai rezim. Yang kami dengar hari ini, sama sekali tidak membuat tenang,” kata Ahmad Rahhal, mantan jenderal di pasukan pemerintah Suriah yang membelot ke oposisi.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan konflik di Idlib telah memaksa hampir 1 juta orang mengungsi, angka eksodus terbesar dalam perang yang telah berlangsung selama sembilan tahun di Suriah.

“Hasil (negosiasi) ini cukup sederhana jika dibandingkan dengan penumpukan besar pasukan Turki di sepanjang perbatasan dan di dalam Suriah,” kata Rahhal.

Pernyataan itu merujuk pada informasi dari oposisi pemerintah yang menyebut Ankara mengerahkan 15.000 pasukannya untuk menahan pasukan pemerintah dan Rusia memasuki Idlib.

Sejumlah gencatan senjata pernah disepakati di Idlib. Namun, perjanjian itu buyar setelah pasukan pemerintah yang didukung Rusia memutuskan menyerang demi ­menguasai wilayah tersebut. (The Guardian/AFP/I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik