Nyanyian Riang Nur Sultan di Kesunyian

Achmad Maulana
27/9/2019 18:01
Nyanyian Riang Nur Sultan di Kesunyian
Pemerintah Kazakhstan paham betul artinya polusi. Terbukti mereka membangun cukup banyak ruang terbuka hijau di Nur Sultan.(MI/Maulana)

SEPI. Itulah kesan pertama kami saat pertama mendarat di Bandara Internasional Nazarbayev, Nur Sultan, Kazakhstan pada Minggu (22/9) lalu.

Betapa tidak? Hanya ada sekitar 100 orang di terminal kedatangan saat kami tiba di bandara yang didominasi warna hitam putih di bagian luarnya itu. Sementara di terminal keberangkatan hanya ada sekitar 70 orang.

Tidak ada sama sekali kesan bahwa bandara itu merupakan bandara internasional yang menjadi pintu gerbang ibu kota sebuah negara. Tidak ada kesibukan sama sekali.

Padahal saat itu waktu baru menunjukkan pukul 16.00 waktu Astana atau pukul 17.00 WIB. Pula kala itu merupakan hari libur.

Namun tidak banyak orang hilir-mudik seperti di kebanyakan di bandara lain di dunia, kecuali beberapa petugas dari pemerintah setempat yang bertugas menjemput kami, serta dua orang tentara dengan seekor anjing shepherd di pintu keluar.

Kontras memang jika dibandingkan dengan bandara Soekarno-Hatta, misalnya. Bahkan dengan bandara-bandara provinsi di Indonesia pun Nazarbayev masih kalah ramai.

Suasana sepi juga tampak di luar bandara. Hampir tidak ada orang di sepanjang jalan.

Suhu udara di luar yang sekitar 9-11 derajad celcius dan disertai angin dingin sepertinya membuat orang enggan berada di luar. Apalagi hamparan tanah kosong di kiri-kanan jalan seperti mengatakan bahwa kota ini masih berkembang.

Beberapa apartemen di sepanjang jalan juga tidak tampak penghuninya. Meski begitu denyut pembangunan di Nur Sultan tetap berdetak.

Sejumlah bangunan baru tampak dalam proses penyelesaian. Demikian pula pembangunan jalan baru dan LRT tampak tengah dalam pengerjaan.

Sekitar 10 menit kemudian suasana berubah. Semua tampak lebih hidup.

Berbagai bangunan futuristik berjajar di pinggir-pinggir jalan memanjakan mata. Kesan bersih dan teratur juga begitu nyata di Nur Sultan--ibu kota baru Kazakhstan setelah pindah dari Almaty pada 1998 silam.

Hebatnya, meski banyak bangunan tinggi, pemerintah Kazahkstan menjaga betul ruang-ruang terbuka. Banyak taman atau ruang terbuka di sekeliling kota.

Menurut Wakil Walikota Nur Sultan, Malika Bekturova, sejak awal konsep pembangunan Astana memang berprinsip simbiosa alam dengan konstruksi.

Alhasil hampir semua bangunan dibuat tidak menjorok ke jalan raya, melainkan di tengah kavling dengan halaman luas.

"Kami memang berusaha untuk mempertahankan ruang terbuka hijau. Bahkan dari 79,737 ha luas Astana, 43,322 ha di antaranya tetap berupa hutan," jelas Bekturova kepada para anggota DPD RI di kantornya, Senin (23/9).

"Kami juga melakukan penghijauan di sepanjang garis sungai dengan menanami berbagai tumbuhan," imbuhnya.

Director of Astanagenplan, Arseniy Dirozhkov menambahkan bahwa Nur Sultan sejatinya dirancang sebagai kota polisentris. Tujuannya agar warga dekat kemana-mana.

Meski begitu mereka juga tetap membutuhkan keberadaan warga lainnya, seperti petani atau pun peternak guna menyuplai kebutuhan warga kota. Itu sebabnya dalam membangun mereka berusaha menghindari kemungkinan memakan pemukiman.

"Kami berusaha agar tidak semua orang harus ke kota untuk bekerja."

"Itu sebabnya arsitek Kisho Kurasawa merancang pusat kota ini seperti sumbu dari lingkaran-lingkaran kecil hingga besar. Lingkaran-lingkaran itu punya fungsi yang berbeda-beda, seperti daerah pusat pertanian, perikanan, peternakan, dan sebagainya," paparnya.

Dengan konsep itu, Nur Sultan memang tidak memberikan ruang bagi semua usaha. Pusat kota dibiarkan sendirian dengan segala aktivitasnya.

Tidak mengherankan jika Nur Sultan tampak lengang ketimbang kebanyakan ibu kota negara-negara lain di dunia. Tidak tampak kemacetan baik pagi maupun sore di pusat kota.

Bahkan pada pagi hari, jalan raya begitu lengang. Begitu pula sore hari. Hampir tidak ada kepadatan kendaraan di setiap persimpangan. Padahal transportasi umum yang tersedia baru bus dan taksi.

Astana atau Nur Sultan sepertinya memang dirancang bukan sebagai kota metropolitan yang hingar bingar. Ia lebih mirip sebagai smart small city.

Sebagai negara terluas kesembilan di dunia dan hanya punya sekitar 16 juta penduduk, Kazakhstan juga diberkati dengan kekayaan alam berupa minyak bumi.

Itu sebabnya meski sunyi, Kazahstan tetap bernyanyi. Mereka tetap berdendang riang. Nyanyian dan tarian memang tidak bisa lepas dari nenek moyang bangsa Kazakhstan yang nomaden.

Hal itu bisa tergambar dari salah satu tarian mereka Kyz Joly. Tarian yang merefleksikan kehidupan dan keindahan alam itu seperti pancaran emosi, keberanian dan optimisme bangsa Kazakhstan.

Melalui Nur Sultan, Kazakhstan tampak betul mencoba membangun jati diri mereka sebagai sebuah bangsa, lepas dari bayang-bayang Uni Soviet yang lama menaungi mereka. (A-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Maulana
Berita Lainnya