Headline
Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.
Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.
Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.
SEABAD setelah monarki Jerman dilenyapkan, beberapa keturunan yang berdarah biru kembali berjuang untuk merebut warisan kerajaan. Yang dipertaruhkan ialah istana megah, serta ribuan artefak dan karya seni tak ternilai.
Perebutan itu memberikan sorotan baru kepada keluarga Kerajaan Jerman, yang biasanya dikenal melalui pemberitaan majalah gosip selebriti. Terutama dinasti Wangsa Hohenzollern. Keturunan kaisar Jerman terakhir dan Raja Prusia, Kaisar Wilhelm II, memulai perjuangan untuk mendapatkan kembali harta kerajaan yang disita Uni Soviet pada 1945.
Hadiah terbesar yang diperebutkan ialah hak kepemilikan Istana Cecilienhof dekat Berlin, lokasi Konferensi Potsdam 1945. Rumah besar bergaya Tudor, menyediakan 176 kamar, 55 perapian dan 6 halaman, menjadi Istana Prusia terakhir yang dibangun Hohenzollerns. Di sana lah tempat para pemimpin sekutu, yakni Presiden AS, Harry Truman, Perdana Menteri (PM) Inggris, Winston Churchill, dan Pemimpin Soviet, Joseph Stalin, memutuskan membentuk dunia pascaperang.
Istana dan kekayaan lain yang sudah lama menghilang di balik Tirai Besi, kembali ke tangan keluarga Hohenzollern. Bertepatan dengan jatuhnya Tembok Berlin, peristiwa bergejolak pada tiga dekade lalu.
Perwakilan keluarga dan sejumlah yayasan budaya melakukan negosiasi rahasia, mengenai tuntutan kompensasi dan restitusi sejak 2013. Biasanya perundingan dilakukan di gedung pemerintahan Kanselir Jerman, Angela Merkel. Persoalan dan negosiasi rahasia terungkap pada Juli lalu, dalam sebuah laporan mingguan Der Spegel. Laporan itu kemudian dikonfirmasi Kementerian Budaya Jerman.
Hohenzollerns, yang sejarahnya dikaitkan dengan Jerman hampir satu milenum, adalah Raja Prusia pada 1701. Kemudian, memerintah Kekaisaran Jerman dari 1871 sampai Kaisar Wilhelm II dipaksa turun tahta pada 1918. Raja Pursia akhirnya diasingkan setelah kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I.
Baca juga: Langkah PM Inggris Picu Kemarahan Parlemen
Awalnya, properti bangsawan Prusia diambil tanpa kompensasi. Namun, kesepakatan tentang aset monarki dituangkan dalam undang-undang pada 1926. Keluarga kerajaan menerima jutaan marks dan menyimpan puluhan kastil, vila, berikut properti lainnya. Mayoritas aset berada di Jerman, namun ada juga sejauh Namibia.
Pendudukan Soviet setelah Perang Dunia II dan pemerintahan komunis, menimbulkan pengambilalihan lanjutan, dari jenis yang seharusnya menjadi hak kompensasi bagi pemilik. Georg Friedrich Ferdinand, cicit buyut Kaisar Wilhelm II, mengungkapkan upaya keluarganya untuk merebut kembali hak yang tertuang dalam perjanjian pasca-Perang Dunia I. Tepatnya sejak keruntuhan blok Uni Soviet.
Sebagian besar aset yang diperebutkan berada dalam kendali Yayasan Istana dan Kebun Prusia, yang dikelola pemerintah Berlin-Brandenburg, Yayasan Warisan Budaya Prusia, dan Museum Sejarah Jerman. Banyak kritikus mengecam tindakan keturunan Hohenzollerns, yang mencoba mengambil kembali harta kerajaan. Langkah itu jelas akan menguras koleksi publik.
"Sungguh tindakan yang berani," pungkas mantan ketua majelis rendah parlemen Jerman, Wolfgang Thierse.
Menteri Keuangan Negara Bagian Brandenburg, Christian Goerke, menuding keturunan Hohenzollern seakan memarginalkan pihak mereka, dengan klaim yang tidak dapat diterima. Akan tetapi, pengacara keluarga Hohenzollern, Markus Hennig, bersikeras bahwa klaim mengacu ketentuan hukum.
Kontroversi mengemuka ketika Jerman membangun replika Istana Berlin. Kediaman utama raja-raja Prusia di Hohenzollern, yang dibom pada Perang Dunia II. Istana tersebut kemudian diratakan oleh rezim komunis Jerman Timur pada 1950. (AFP/OL-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved