Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Anjing Laut dan Kaviar di Tengah Polusi Laut Kaspia

(AFP/Denny Parsaulian Sinaga/I-1)
18/4/2019 05:20
 Anjing Laut dan Kaviar di Tengah Polusi Laut Kaspia
Anjing laut, yang dulunya pemandangan umum di tepi pantai Baku, dinyatakan terancam punah. Polusi dari ekstraksi minyak dan gas,((Photo by Mladen ANTONOV / AFP))

ANJING laut berkeliaran di sepanjang pantai, dulunya merupakan pemandangan biasa di Teluk Baku, Laut Kaspia, ibu kota Azerbaijan.

Namun, kini tidak lagi. Dari lebih 1 juta anjing laut yang menghuni pantai dan pulau-pulau Kaspia 1 abad lalu, sekarang yang tersisa tidak lebih dari 10%. Bahkan, ada spesies yang terancam punah.

Kepala Masyarakat Azerbaijan untuk Perlindungan Satwa, Azer Garayev mengatakan, anjing laut itu selama puluhan tahun menderita perburuan berlebihan dan efek polusi industri.

Pada 2003, kelompoknya menemukan 750 bangkai anjing laut hanya dalam 1 bulan. "Itu tidak normal, tetapi tidak ada yang melihat masalah ini," kata aktivis berusia 57 tahun itu. "Anjing laut itu ialah barometer dari semua masalah lingkungan utama (di Kaspia)."

Berbatasan dengan Azerbaijan, Iran, Kazakhstan, Rusia, dan Turkmenistan, Kaspia ialah merupakan air daratan terbesar di dunia. Luasnya seukuran Jepang.

Seperti halnya anjing laut dan spesies endemik lainnya, termasuk kura-kura Kaspia dan beluga sturgeon yang terkenal, laut ini memiliki cadangan energi yang sangat besar. Diperkirakan jumlahnya mencapai 50 miliar barel minyak dan 300 ribu miliar meter kubik gas alam.

Polusi dari ekstraksi minyak dan gas itu serta menurunnya level air akibat perubahan iklim, menimbulkan ancaman bagi banyak spesies dan membahayakan masa depan laut itu sendiri.

Program Lingkungan PBB telah memperingatkan bahwa Kaspia menderita beban polusi yang sangat besar dari ekstraksi dan pemurnian minyak di ladang minyak lepas pantai, limbah radioaktif dari pembangkit listrik tenaga nuklir, serta volume besar limbah yang tidak diolah dan limbah industri, terutama dari Sungai Volga.

"Beberapa ikan tampaknya lebih suka air yang tercemar sehingga mereka cenderung berkumpul di sini," kata Rashad, sambil melepas tas plastik yang tersangkut di kail ikannya. "Airnya kotor."

Laut Kaspia dulunya merupakan rumah bagi salah satu populasi sturgeon terbesar di dunia. Namun, jumlahnya telah menurun lebih dari 90% selama tiga generasi terakhir. Hal ini menurut data World Wildlife Fund pada 2016. "Saya ingat ketika kaviar harganya US$6 per kilogram (sekitar Rp90 ribu)," kata Garayev, seorang pencinta lingkungan.

"Hari ini, harganya lebih dari US$960 dan hampir tidak ada yang tersisa. Kami praktis tidak memiliki populasi sturgeon yang layak hari ini."

Aligaidar Mammedov, seorang mantan ahli hidrogeologi dan nelayan yang menjadi aktivis lingkungan mengatakan bahwa metode eksplorasi minyak dapat membunuh sturgeon. "Mereka memicu ledakan seismik di laut," katanya. "Dasar laut hancur sebagai akibatnya, dan sturgeon ialah ikan dasar laut."

Mammedov memperingatkan potensi tumpahan minyak yang akan jauh lebih mencemari laut pedalaman daripada di lautan. (AFP/Denny Parsaulian Sinaga/I-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya