Headline

Surya Paloh menegaskan hak istimewa parpol harus diiringi dengan tanggung jawab.

Sulitnya Perempuan Suriah Mencari Suami

20/2/2018 09:39
Sulitnya Perempuan Suriah Mencari Suami
(AFP/LOUAI BESHARA)

NOUR, mahasiswi di Universitas Damaskus, Suriah, yang berusia 30 tahun terlihat sedih saat menatap jari manisnya yang kosong.

Nour mengungkapkan keinginannya untuk menikah begitu besar tetapi konflik Suriah membuat pasangan potensial menghilang karena beremigrasi, bergabung dengan tentara, atau kehilangan nyawa mereka.

"Saya berharap cincin kawin akan menghiasi jari ini suatu hari nanti. Namun, tidak ada lagi pria muda di sini. Mereka semua pergi. Saya melihat penurunan dari tahun ke tahun," tuturnya.

Konflik Suriah meletus pada 2011 saat Nour akan mendapat gelar pertamanya di bidang ekonomi.

Dia mengingat proposal perkawinan mingguan pada saat itu yang berbeda dengan saat ini yang hampir sepenuhnya berhenti karena pilihannya menikah dengan suami orang atau lelaki tua.

Untuk mengisi waktu, Nour memilih melanjutkan mendapatkan gelar kedua di Universitas Damaskus dalam bidang sastra.

"Saya tidak punya seseorang untuk mengisi waktu. Tidak ada teman, tidak ada kekasih, dan tidak punya suami. Saya takut akan menemukan uban sebelum saya menikah. Saya pasti akan kehilangan semua harapan pada saat itu," keluhnya sambil menarik rambut pirangnya.

Di masyarakat Suriah yang konservatif, pada umumnya perempuan akan menikah pada usia 20-an. Hal itu berubah karena populasi laki-laki yang terus menurun.

"Sekarang, perempuan dapat menikah pada usia 32 tahun tanpa ada anggapan terlambat menikah," kata Salam Qassem, profesor psikologi di Damaskus.

Lebih dari 340 ribu orang tewas dalam perang Suriah dan ribuan orang telah ditempatkan di barisan depan jauh dari rumah.

Dari populasi praperang di negara itu yang berjumlah 23 juta, lebih dari 5 juta telah meninggalkan negara tersebut dan lebih banyak yang mengungsi.

"Tetangga dulu mengenal satu sama lain atau bisa saling mengenal dengan mudah tapi hari ini, keluarga-keluarga tersebar di semua tempat," kata Qassem.

Beberapa orang Suriah secara kreatif menghindari hambatan tersebut dengan 'pernikahan Skype' dengan para pengantin perempuan dan pengantin laki-laki di berbagai provinsi atau negara memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk menandatangani surat nikah saat mereka bertukar sumpah secara daring.

Yusra, 31, yang masih sendiri mengatakan orangtuanya khawatir dia akan 'ketinggalan kereta untuk menikah'.

"Saya tidak ingin kamu menjadi perawan tua, kata ibu saya. Dia meminta saya melihat sekeliling dan berhati-hati memilih," tuturnya.

Yusra menambahkan, beberapa laki-laki beremigrasi karena mempertimbangkan finansial sebelum menikah di tengah perang yang memperluas keretakan sektarian di masyarakat.

"Meningkatnya biaya hidup dan faktor keuangan lainnya membuat menikah tidak mungkin," kata Firas, 37, yang menganggap menikah saat ini ialah kegilaan. (AFP/Irene Harty/I-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya