Headline
Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.
PEREMPUAN yang pernah mengalami stalking atau harus mengajukan perintah perlindungan menghadapi risiko yang jauh lebih tinggi untuk mengalami serangan jantung atau stroke di kemudian hari. Temuan ini dipublikasikan dalam jurnal Circulation milik American Heart Association.
Penulis studi, Rebecca B. Lawn, Ph.D., dari Harvard T.H. Chan School of Public Health dan University of British Columbia, menyebut bahwa kekerasan terhadap perempuan kerap diabaikan sebagai faktor risiko penyakit kardiovaskular.
“Kekerasan seperti stalking memang tidak melibatkan kontak fisik. Namun bisa memberikan berdampak serius. Banyak korban yang terpaksa mengubah hidup mereka, seperti pindah tempat tinggal,” ujar Lawn.
Berdasarkan data CDC, diperkirakan satu dari tiga perempuan di Amerika Serikat pernah mengalami stalking. Namun, bentuk kekerasan ini jarang dibahas dalam penelitian kesehatan jantung.
Penelitian ini menganalisis data lebih dari 66.000 peserta Nurses’ Health Study II (2001–2021) yang berusia rata-rata 46 tahun pada awal studi dan tidak memiliki riwayat penyakit jantung.
Peningkatan risiko ini tetap ada meskipun mempertimbangkan faktor lain seperti gaya hidup, kondisi kesehatan, riwayat kekerasan di masa kecil, atau gejala depresi.
Harmony R. Reynolds, M.D., dari NYU Grossman School of Medicine, yang tidak terlibat dalam penelitian, mengatakan bahwa rasa tidak aman dapat memengaruhi kesehatan fisik.
“Stres akibat pengalaman traumatis bisa bertahan lama karena kita cenderung mengulang ingatan itu dalam pikiran. Dukungan sosial dari keluarga, teman, atau profesional sangat penting untuk mengurangi dampaknya,” ujarnya.
Para peneliti memperkirakan bahwa ada kaitan antara stalking dan penyakit jantung. Hubungan ini diduga dipicu oleh stres psikologis yang dapat mengganggu fungsi saraf, pembuluh darah, serta berbagai proses biologis lainnya.
Studi ini sebagian besar melibatkan perawat perempuan kulit putih non-Hispanik, sehingga hasilnya mungkin tidak mewakili semua populasi. Peneliti menekankan perlunya pelatihan bagi tenaga kesehatan untuk mengenali kekerasan sebagai faktor risiko jantung, serta meningkatkan kesadaran publik mengenai dampaknya terhadap kesehatan. (Heart/Z-2)
Temuan tersebut sekaligus meyakini bahwa orang dengan berat badan normal juga tetap memiliki risiko sindrom metabolik.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved