Indonesia-Australia Gagas Daur Ulang Baterai EV Berkelanjutan

Ficky Ramadhan
03/8/2025 11:46
Indonesia-Australia Gagas Daur Ulang Baterai EV Berkelanjutan
(MI/Ficky Ramadhan)

Upaya Indonesia untuk mempercepat adopsi kendaraan listrik (EV) mendapat suntikan energi baru dari hasil riset kolaboratif antara Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Curtin University, Australia.

Riset ini difokuskan pada pengembangan sistem daur ulang baterai yang berkelanjutan dan efisien, baik dari sisi teknologi maupun biaya, serta dapat menjawab tantangan lingkungan dan ketergantungan pada tambang bahan baku primer.

Peneliti dari ITB, Bentang Arief Budiman mengatakan bahwa upaya untuk menciptakan ekosistem baterai yang berkelanjutan harus dimulai dari proses desain awal, agar baterai mudah didaur ulang ketika mencapai akhir masa pakainya.

Menurutnya, terdapat beberapa poin yang menjadi kunci dalam riset ini. Pertama, desain baterai harus memikirkan aspek daur ulang sejak awal.

Kedua, ada fase reuse atau recomposing, di mana baterai bekas kendaraan listrik berintensitas tinggi bisa digunakan ulang untuk aplikasi stasioner berintensitas rendah seperti pembangkit energi portabel.

"Penelitian ini terkait dengan battery cycle, bagaimana baterai bisa memiliki life cycle yang sustainable. Dalam konsep baterai recycle, kita ingin semua jenis baterai bisa terakomodasi," kata Bentang.

Bentang menjelaskan, dalam riset kali ini pihaknya coba meriset semua baterai untuk di daur ulang. Namun, pihaknya lebih memfokuskan ke dua macam baterai, yakni baterai NMC (Nickel Manganese Cobalt) dan LFP (Lithium Iron Phosphate).

Ia menyebut, saat ini teknik yang dikembangkan bertujuan meningkatkan efisiensi daur ulang kedua jenis baterai tersebut.

"Kalau dari sisi teknologi, dua-duanya (NCM dan LFP) memungkinkan. Tapi kita juga lihat nilai ekonominya. NCM punya nilai jual lebih tinggi karena mengandung nickel, cobalt, dan mangan. Tapi feedstock-nya, sekarang di Indonesia sekitar 70–80% masih menggunakan LFP, terutama pada kendaraan jenis passenger truck," tambahnya.

Lebih lanjut, Bentang mengungkapkan bahwa target dari penelitian ini bukan untuk langsung dikomersialisasi, melainkan membangun sistem daur ulang baterai yang ekonomis dan dapat bersaing dengan bahan baku dari pertambangan.

Dengan begitu, lanjut Bentang, ekosistem daur ulang bisa lebih kompetitif dan mendukung keberlanjutan industri EV.

"Kita ingin punya skema sistem baterai recycle yang efisien dan efektif, yang bisa digunakan oleh siapa pun di berbagai industri. Tidak hanya jadi baterai lagi, tapi juga bisa menjadi komoditas lain, seperti nikel untuk baja tahan karat (stainless steel)," ungkapnya.

Selain itu, penelitian ini juga menyoroti pentingnya regulasi pemerintah. Saat ini, belum ada kebijakan yang mewajibkan industri kendaraan listrik untuk mendaur ulang baterai mereka.

Bentang menekankan bahwa dalam waktu dekat regulasi ini harus hadir agar limbah baterai tidak menjadi persoalan lingkungan di masa depan.

"Suatu saat harus ada kewajiban dari pemerintah. Pabrik baterai dan kendaraan listrik perlu mekanisme untuk menarik kembali baterai bekas, lalu mendaur ulang dan membentuknya kembali jadi baterai baru," ucapnya.

"Kalau dibiarkan, dua sampai empat tahun ke depan, baterai akan tercecer di mana-mana dan jadi problem. Ini seperti logika plastik," tambahnya.

Bentang berharap, hasil studi kolaboratif ini dapat mendorong pengembangan kebijakan baru untuk daur ulang baterai, atau memberikan insentif untuk pengguna kendaraan listrik dengan harga lebih terjangkau.

BELUM DITUNJANG SISTEM PENGELOLAAN MEMADAI
Hal yang sama juga di ungkapkan peneliti dari Curtin University, Richard Diaz Alorro. Ia menyoroti sejumlah tantangan yang masih menghambat perkembangan ekosistem baterai kendaraan listrik (EV) di Indonesia.

Salah satu isu krusial adalah penanganan baterai bekas yang saat ini dikategorikan sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), namun belum ditunjang dengan sistem pengolahan yang memadai.

"Di Indonesia, baterai yang telah habis masa pakainya masih dianggap limbah B3, tetapi ekosistem daur ulangnya belum berkembang optimal," kata Richard.

Ia juga menyinggung persoalan keterbatasan bahan mentah, khususnya lithium, yang menjadi komponen utama dalam produksi baterai EV. Menurutnya, Indonesia tidak memiliki cadangan lithium dalam jumlah signifikan, sehingga perlu strategi alternatif untuk menjaga ketahanan pasokan.

Salah satu solusi yang ditawarkan adalah dengan merancang baterai kendaraan listrik sejak awal dengan mempertimbangkan proses pembongkaran dan daur ulang di akhir masa pakainya.

Menurutnya, upaya tersebut penting untuk mendukung pengembangan ekosistem kendaraan listrik yang berkelanjutan dan mandiri di dalam negeri.

"Hasilnya bisa mendorong kebijakan baru atau insentif bagi pemilik kendaraan listrik, agar baterai yang telah digunakan tidak langsung dibuang," ujarnya. (H-1)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Denny parsaulian
Berita Lainnya