Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Sunat Perempuan Adalah Kekerasan

Indriyani Astuti
26/11/2016 05:25
Sunat Perempuan Adalah Kekerasan
(THINKSTOCK)

KOMISI Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memandang bahwa sunat perempuan termasuk 15 kategori bentuk kekerasan. Kekerasan itu berbasis gender terhadap perempuan karena melukai genital perempuan.

"Praktik sulit dihapusnya sunat perempuan karena faktor tradisi yang dibungkus agama sangat kuat. Padahal rujukannya belum jelas," ujar komisioner Komnas Perempuan Riri Khariroh pada rilis hasil penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) bersama Hicos Southeast Asia tentang sunat perempuan di Jakarta, kemarin.

Lebih lanjut Riri menuturkan, sebenarnya dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Seksual yang kini sedang diharmonisasi di DPR sempat ada usulan untuk memasukkan sunat perempuan sebagai kekerasan seksual.

Hanya saja, muatan tersebut dianulir karena menimbulkan perdebatan.

"Sunat perempuan bagian dari penyiksaan seksual dan kontrol tubuh perempuan. Tapi tidak masuk RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual dengan alasan kalau dimasukkan, unsur pidananya belum jelas dan masih debatable," ungkapnya.

Karena regulasi masih tumpang-tindih dan tidak secara tegas melarang sunat perempuan, Komnas Perempuan terus melakukan advokasi sebagai upaya untuk menyadarkan publik bahwa sunat perempuan tidak perlu.

Agama dan tradisi

Kendati aturan secara medis telah melarang pelaksanaan sunat perempuan karena dianggap tidak bermanfaat secara medis, pada praktiknya masih dilakukan.

Akademisi UI Johanna Debora Imelda mengatakan temuan penelitian memperlihatkan bahwa sunat perempuan masih dipandang sebagai budaya dan adat istiadat turun-temurun.

Kajian penelitian menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif.

Studi dilakukan di tujuh provinsi selama empat bulan mulai Januari 2015 hingga April 2015.

Survei dilakukan terhadap 700 responden dengan pembagian merata.

"Responden yang menerapkan sunat pada anak perempuannya merasa berdosa jika tidak melakukannya, misalnya terjadi pada masyarakat Kabupaten Bima, NTB; Ketapang, Kalbar; dan Polewali Mandar, Sulbar," kata Johanna di kesempatan yang sama.

Johanna mengatakan bahkan ada yang menerapkan sanksi sosial bagi perempuan yang tidak disunat.

"Seperti di Polewali, perempuan yang tidak disunat dilabeli perempuan nakal. Hal serupa terjadi di Bima bahwa perempuan yang belum disunat sulit mendapatkan jodoh," tambahnya.

Kebanyakan anak perempuan disunat pada usia kurang dari 1 tahun ketika anak belum paham tentang tubuhnya.

Sebesar 61% responden melakukan hal itu pada anak perempuan mereka.

Sebanyak 54,3% dari res-ponden datang ke dukun bayi, 25,1% ke dukun sunat, selebihnya ke bidan dan tokoh agama.

Kekhawatiran yang muncul, ujar Johanna, ialah dampaknya bagi kesehatan reproduksi perempuan apabila dilakukan dengan alat yang tidak higienis dan minim ilmu pengetahuan. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya