Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
Kelelawar telah lama diasosiasikan dengan penyebaran berbagai virus mematikan seperti Ebola, SARS, MERS, dan COVID-19. Menariknya, meskipun membawa virus-virus ini, kelelawar tidak mengalami sakit. Fenomena ini mendorong para ilmuwan untuk mendalami lebih lanjut mengenai sistem imun yang dimiliki oleh kelelawar.
Sebuah studi terkini yang dipublikasikan dalam Times of India pada Juni 2025 menunjukkan sistem kekebalan kelelawar berbeda secara signifikan dibandingkan mamalia lain, termasuk manusia. Mereka dapat hidup berdampingan dengan virus di dalam tubuh tanpa memicu respons imun yang berlebihan yang dapat merusak jaringan. Cara kerja sistem imun tersebut dianggap sangat efisien dan stabil.
Peneliti menjabarkan kelelawar memproduksi interferon tipe I, yaitu protein antivirus yang biasanya baru dikeluarkan saat tubuh berupaya melawan infeksi. Akan tetapi, pada kelelawar, interferon ini selalu aktif dalam tingkat rendah dan stabil. Dengan demikian, mereka dapat mengontrol jumlah virus tanpa menyebabkan reaksi inflamasi atau autoimun.
Profesor Linfa Wang dari Duke-NUS Medical School di Singapura mengungkapkan bahwa kelelawar memiliki sistem kekebalan yang sangat toleran. Mereka tidak merespons secara berlebihan terhadap virus, tetapi tetap dapat mempertahankan kesehatan tubuh mereka. Strategi ini justru menjadikan kelelawar tidak rentan terhadap kerusakan jaringan yang disebabkan oleh respons imun, seperti yang sering dialami manusia saat terinfeksi virus.
Di samping sistem imun yang stabil, metabolisme kelelawar juga menjadi faktor penting dalam ketahanan mereka. Kemampuan untuk terbang membuat metabolisme tubuh kelelawar beroperasi cepat dan menghasilkan tingkat stres oksidatif yang tinggi.
Namun, kelelawar telah beradaptasi sehingga sel-sel tubuhnya mampu bertahan terhadap stres ini. Proses evolusi ini juga mempertahankan kestabilan dari sistem imun mereka.
Penemuan ini memberikan kesempatan besar bagi dunia medis untuk mengembangkan cara baru dalam menangani penyakit yang disebabkan oleh virus. Jika sistem kekebalan manusia dapat dimodifikasi untuk meniru cara imunitas kelelawar berfungsi, maka risiko kematian akibat virus bisa dikurangi dengan signifikan. Para ilmuwan sedang mengeksplorasi kemungkinan penciptaan obat atau terapi berdasarkan prinsip toleransi imun yang dimiliki kelelawar.
Saat ini, kelelawar menjadi fokus utama dalam penelitian virologi dan imunologi. Dengan memahami cara mereka bertahan dari paparan virus tanpa mengalamai sakit, diharapkan peneliti dapat merumuskan strategi pencegahan serta pengobatan yang lebih efektif untuk manusia. Kelelawar tidak hanya memiliki peran penting di ekosistem, tetapi juga bisa menjadi kunci untuk pengendalian pandemi di masa depan. (Times of India/Z-2)
Hari Hepatitis Sedunia dirayakan setiap tanggal 28 Juli sebagai aksi global untuk menunjukkan perhatian terhadap hepatitis yang masih menjadi risiko besar bagi kesehatan masyarakat.
Varian baru virus SARS-CoV-2 yang dikenal dengan nama Nimbus atau varian NB.1.8.1 mulai menarik perhatian dunia setelah penyebarannya meningkat di sejumlah negara Asia.
PARA ilmuwan di Tiongkok telah menemukan sejumlah virus baru yang belum pernah terlihat sebelumnya pada kelelawar yang hidup di dekat manusia.
Peneliti di Tiongkok menemukan 20 virus baru di ginjal kelelawar Yunnan, dua di antaranya mirip dengan virus mematikan Nipah dan Hendra.
HPV itu ada banyak jenisnya, inkubasinya, dan gejalanya. Tidak semua virus HPV bisa memicu kanker serviks. Sebagian hanya memiliki gejala seperti kutil dan menghilang dengan sendirinya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved