Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Bahaya Es Krim dan Ribuan Makanan Mengandung Pengemulsi yang Mengancam Kesehatan Usus

Via Marchellinda Gunanto
20/5/2025 10:00
Bahaya Es Krim dan Ribuan Makanan Mengandung Pengemulsi yang Mengancam Kesehatan Usus
Studi terbaru menduga Polysorbate 80, carrageenan, dan emulsifier bisa merusak mikrobioma usus dan memicu penyakit seperti Crohn, kolitis, hingga kanker.(freepik)

BAYANGKAN es krim yang tetap utuh dan tidak mencair, meski berada di bawah sorotan lampu panas. Teknologi pangan modern memungkinkan hal ini berkat bantuan bahan kimia bernama polysorbate 80, salah satu jenis emulsifier atau zat tambahan yang berfungsi menjaga tekstur dan kestabilan makanan. Selain polysorbate 80, emulsifier lain yang umum digunakan dalam berbagai produk makanan meliputi carboxymethyl cellulose, carrageenan, dan maltodextrin.

Kini, bahan-bahan itu menjadi sorotan dalam berbagai penelitian ilmiah karena dugaan dampak buruknya terhadap kesehatan. Studi menunjukkan emulsifier dapat mengganggu keseimbangan bakteri baik di usus (mikrobioma), merusak lapisan saluran pencernaan, dan memicu peradangan yang berpotensi menimbulkan gangguan di bagian tubuh lainnya.

Emulsifier termasuk dalam daftar bahan yang sering ditemukan dalam makanan ultra-proses. Kini menjadi sasaran kampanye “Make America Healthy Again” oleh Menteri Kesehatan AS, Robert F. Kennedy Jr. Dokumen resmi dari kementerian itu menyebut emulsifier sebagai salah satu zat yang patut diwaspadai, bersamaan dengan upaya penghapusan pewarna makanan berbasis minyak bumi.

Sejumlah studi menduga gangguan pada mikrobioma usus akibat emulsifier dapat memicu penyakit peradangan usus, seperti Crohn dan kolitis ulseratif, gangguan metabolisme, bahkan kanker.

“Data yang kami miliki menunjukkan zat-zat ini benar-benar merusak mikrobioma. Kita seharusnya menghentikan penggunaannya,” ujar Benoit Chassaing, peneliti senior di Institut Kesehatan dan Penelitian Medis Nasional Prancis. Ia menambahkan, dibutuhkan uji klinis yang jauh lebih besar pada manusia untuk memastikan dampaknya.

Gangguan Pencernaan

Bagi Lewis Rands, penderita gangguan pencernaan, temuan ini terasa masuk akal. Setelah menghindari emulsifier dalam makanan, gejalanya membaik drastis. Hal serupa juga diamini dokter Ashwin Ananthakrishnan dari Massachusetts General Hospital, yang menyebut banyak pasien mengalami perbaikan setelah mengubah pola makan mereka.

Tetap saja, penelitian ini tidak tanpa catatan. Sebagian besar studi dilakukan pada tikus atau simulasi usus manusia di laboratorium. Belum semua emulsifier terbukti berdampak buruk, dan respons tubuh tiap orang bisa berbeda-beda. Bahkan beberapa peneliti yang menulis laporan tersebut menyatakan belum ada bukti kuat untuk menyatakan emulsifier berbahaya bagi manusia secara langsung, sehingga terlalu dini untuk melarang penggunaannya.

Namun, hasil-hasil ini tetap menjadi tantangan serius bagi Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA). Saat emulsifier mulai digunakan luas, mikrobioma belum menjadi fokus perhatian ilmiah. Kini, hal itu berubah. Saat uji kelayakan di Senat pada Maret lalu, Martin Makary menyebut mikrobioma sebagai isu penting yang layak diteliti lebih dalam, meski tidak menyebut emulsifier secara spesifik.

“Ada sejumlah penelitian yang menunjukkan adanya kekhawatiran terhadap beberapa bahan tambahan ini,” kata Makary. “Kalau saya resmi menjabat, saya berkomitmen untuk menelaah lebih lanjut.” Ia juga menambahkan, “Bahan kimia ini menyebabkan peradangan di saluran pencernaan dan mengganggu lapisan mikrobioma, sehingga anak-anak bisa merasa sakit.”

Baik FDA maupun Kementerian Kesehatan belum memberi tanggapan terkait pernyataan Makary. Namun saat jurnalis Emily Kopp meminta data ilmiah di balik keputusan penghapusan pewarna makanan berbasis minyak bumi, HHS memberikan dokumen draf yang mencantumkan juga potensi bahaya emulsifier seperti xanthan gum dan carrageenan. Bagian ini bahkan diakui masih butuh penyempurnaan.

Sebenarnya sejak 2020, asosiasi internasional yang meneliti penyakit radang usus telah merekomendasikan agar penderita penyakit tersebut membatasi konsumsi maltodextrin, carrageenan, carboxymethyl cellulose, dan polysorbate 80.

Perlu dicatat, emulsifier bisa berasal dari tanaman maupun bakteri, dan banyak di antaranya masuk ke makanan karena sudah lama dianggap “aman secara umum” atau berstatus Generally Recognized As Safe (GRAS). Namun, seperti tertulis dalam peraturan resmi AS, informasi baru bisa saja memicu peninjauan ulang terhadap status GRAS suatu bahan makanan kapan saja.

Lebih Berdampak dari Obat Apa Pun

Rands, seorang ilmuwan genetika, memutuskan untuk mengambil tindakan sendiri menghadapi penyakit radang usus parah yang dideritanya. Penyakit ini menimbulkan perut kembung, nyeri, kram, buang air besar yang sangat sering, hingga pendarahan. 

Atas saran seorang ahli gizi, Rands mulai menghindari makanan yang mengandung emulsifier, zat tambahan seperti carboxymethyl cellulose, carrageenan, guar gum, xanthan gum, dan maltodextrin, serta aditif lainnya. Contohnya, alih-alih mengonsumsi es krim Ben & Jerry’s, ia beralih ke Häagen-Dazs yang tidak mengandung zat-zat tersebut.

Hasilnya sangat mengejutkan. “Perbedaannya luar biasa,” kata Rands. “Menurut saya, dampaknya jauh lebih besar dibanding obat apa pun.”

Rands menggunakan pendekatan ilmiah: ia mengeliminasi satu per satu variabel dalam pola makannya dan mencatat hasilnya. Ia juga menghindari pemanis buatan, yang turut membantu, tetapi manfaat terbesar justru datang dari menghindari emulsifier.

Ilmu yang Belum Selesai Dikembangkan

Asosiasi Merek Konsumen, yang mewakili para produsen makanan olahan, tetap membela penggunaan bahan-bahan tambahan tersebut. “Keselamatan pangan dan menjaga kualitas pasokan makanan adalah prioritas utama bagi para produsen makanan dan minuman di Amerika,” kata Sarah Gallo, wakil presiden senior kebijakan produk asosiasi tersebut, dalam sebuah pernyataan.

“Emulsifier dan zat pengental berperan penting dalam meningkatkan tekstur dan konsistensi makanan, dan semuanya telah diteliti oleh FDA melalui proses ilmiah yang ketat dan berbasis risiko,” tambah Gallo.

Sementara itu, peneliti bernama Chassaing menyoroti bahan-bahan tersebut “tidak pernah diteliti dari sisi dampaknya terhadap mikrobiota usus.”

Robert Califf, yang pernah memimpin FDA di era Presiden Barack Obama dan Joe Biden, mengatakan para ilmuwan baru mulai memahami kompleksitas mikrobioma. Ia membandingkannya dengan bidang genomik 20 tahun lalu, tapi jauh lebih rumit “seperti dikalikan seribu.” 

Menurutnya, bahan-bahan tersebut memang memenuhi standar ketika disetujui. “Tapi saya harap kebanyakan orang setuju kalau sekarang standar itu perlu diperbarui,” katanya.

Banyak Kebingungan di Lapangan

Bagi konsumen, menghindari pengemulsi bukan perkara mudah. Menurut data dari Environmental Working Group yang diambil dari NielsenIQ (per 12 Mei), pengemulsi polysorbate 80 tercantum dalam label 2.311 produk. Carrageenan ditemukan dalam 8.100 produk, maltodekstrin dalam 12.769 produk, dan xanthan gum dalam 17.153 produk.

Yang membuat situasi makin rumit, satu jenis pengemulsi bisa memiliki banyak nama berbeda, sehingga sulit dikenali. Bahkan ada nama-nama bahan kimia yang muncul di label produk, tetapi tidak tercantum dalam daftar resmi “Zat yang Ditambahkan ke Makanan” milik FDA.

Para peneliti menyatakan praktik penamaan yang tidak konsisten ini menyulitkan pelacakan bahan kimia dalam makanan, menghitung seberapa banyak yang dikonsumsi, bahkan menentukan dengan pasti zat apa yang sedang diteliti dalam studi ilmiah.

“Ada banyak kebingungan di bidang ini,” ujar Christine McDonald, peneliti dari Cleveland Clinic yang mempelajari maltodekstrin. Ia menyerukan agar ada standarisasi penamaan bahan tambahan makanan di Amerika Serikat.

Bahkan istilah “pengemulsi” itu sendiri dinilai bermasalah. Secara teknis, pengemulsi adalah zat yang mampu menyatukan dua cairan yang biasanya tidak bisa tercampur, seperti air dan minyak. Namun dalam praktiknya, istilah ini digunakan lebih luas mencakup bahan seperti maltodekstrin yang berfungsi sebagai pengental, penstabil, atau pengubah tekstur makanan.

Semakin Banyak Penelitian tentang Pengemulsi

Penelitian tentang pengemulsi dalam makanan semakin berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Salah satunya studi yang diterbitkan Januari lalu di Journal of Crohn’s and Colitis. Studi ini menyimpulkan pola makan rendah pengemulsi efektif sebagai terapi untuk penyakit Crohn ringan hingga sedang. Uji klinis selama delapan minggu itu melibatkan 154 pasien di Inggris dan memusatkan perhatian pada carrageenan, carboxymethyl cellulose, dan polysorbate 80.

Penelitian lain yang terbit pada Februari 2024 di jurnal PLOS Medicine menemukan konsumsi tinggi carrageenan serta mono- dan digliserida asam lemak berhubungan dengan peningkatan risiko kanker. Studi ini mengamati sekitar 92.000 orang dewasa di Prancis selama rata-rata 6,7 tahun.

Sebelumnya, pada September 2023, jurnal The BMJ menerbitkan studi yang menunjukkan konsumsi berbagai jenis pengemulsi berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Penelitian ini melibatkan lebih dari 95.000 orang dewasa di Prancis dan berlangsung selama median 7,4 tahun.

Serangkaian studi sebelumnya juga menunjukkan bahwa pengemulsi dapat memicu peradangan usus kronis pada tikus. Dua zat khususnya carboxymethyl cellulose dan polysorbate 80 terbukti sangat memengaruhi mikrobioma usus dengan cara yang dapat menimbulkan peradangan dan penyakit terkait. Studi laboratorium menggunakan sampel manusia yang dipublikasikan di jurnal Microbiome tahun 2021 juga menyatakan banyak, meski tidak semua, pengemulsi umum bisa secara langsung mengubah mikrobioma usus dengan cara yang berpotensi menyebabkan peradangan.

Namun, tidak semua hasil penelitian sejalan.

Penelitian dari Australia yang terbit di jurnal Alimentary Pharmacology and Therapeutics pada Februari, meneliti 24 pasien Crohn selama empat minggu. Hasilnya menunjukkan dalam konteks diet sehat, kandungan pengemulsi tidak berpengaruh terhadap tingkat keparahan penyakit.

Meski begitu, sejumlah penulis studi ini memiliki konflik kepentingan, seperti menerima pendanaan dari perusahaan seperti PepsiCo, perusahaan farmasi, dan Mindset Health Pty perusahaan yang mempromosikan terapi berbasis hipnosis. Namun, salah satu penulisnya, Profesor Gastroenterologi Peter Gibson dari Monash University, menegaskan konflik kepentingan tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan penelitian ini. “Idealnya, hasil studi tidak boleh diartikan secara berlebihan,”  katanya. (CNN Health/Z-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik