Headline

Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.

Pentas Multimedia sang Maestro

Abdillah M Marzuqi
27/10/2016 01:00
Pentas Multimedia sang Maestro
(MI/ARYA MANGGALA)

KARYA Sardono Waluyo Kusumo dirayakan dengan meriah di Singapore International Festival of Arts (SIFA) 2016 pada Agustus lalu. Festival seni itu berlangsung pada 11 Agustus hingga 17 September 2016. Tiga persembahan karyanya dihadirkan di Malay Heritage Centre Singapura. Pertama, Expanded Cinema yang ditampilkan selama 13-28 Agustus 2016.
Kedua, Live Painting pada 20-21 pada bulan yang sama. Ketiga, Black Sun Creation pada 26-27 Agustus. Ini bukan kali pertama Sardono tampil di ajang internasional.

Pria kelahiran 1945 itu sudah menginjakkan kaki di negara orang sejak 1964. Kala itu, ia menjadi penari utama di Kelompok Tari Indonesia di New York's World Fair, Amerika Serikat. Sardono mengawali dunia seni tari kala berusia delapan tahun. Sardono memang lebih dikenal sebagai maestro tari, tetapi ternyata ia lebih dahulu berkenalan dengan seni bela diri yakni silat. Itu lazim berlaku pada anak laki-laki di lingkungan masa kecilnya di Surakarta, Jawa Tengah. "Begini 1950-an, di Solo (Surakarta) itu, anak-anak muda kalau laki-laki biasanya belajar silat. Saya juga pertama kali, pada usia 8 tahun, itu juga belajar silat. Waktu itu umurku 8 tahun," terangnya.

Ternyata bersambut, pelatih silatnya melihat Sardono juga punya bakat menari. Lalu bermulalah Sardono berkesenian dengan tari. "Guru silatku waktu melihat saya silat bilang, 'Kamu ini juga bakat nari kayaknya'," kenangnya. Sardono lalu melanjutkan pendidikan di SMP Kesatrian. Sekolahnya berada di lingkungan Keraton Surakarta, malah berada di dalam tembok Keraton Baluarti.

Silat dan tarian
Ia terus mengasah bakat menarinya dengan mengikuti mata pelajaran wajib, yakni menari, menabuh gamelan, dan karawitan. Bakat Sardono rupanya juga tercium oleh gurunya. Sang Guru lalu mengenalkannya kepada seorang empu tari. "Terus saya diajak ke rumahnya, dikenalin sama bapaknya yang sudah empu benar. Akhirnya saya dilatih khusus untuk tari. Jadi di situ bakat saya dilihat, diasuh langsung oleh empu tari namanya Raden Tumenggung Kusumo Kesowo. Lha saya diajar nari itu," kenang pria yang juga tercatat sebagai seorang yang pertama kali menampilkan karya tari kontemporer Samgita di Taman Ismail Marzuki pada 1969 itu.

Sekitar 1960-an, Sardono telah menjadi penari utama di Ramayana Prambanan. Beragam peran ia mainkan, mulai menjadi Hanoman sampai menjadi Rahwana. Mulai pentas di luar negeri Gayung bersambut, bakat dan keseriusannya dalam dunia tari membawanya ke luar negeri. "Saya dianggap bagus. Pada 1964 saya terpilih untuk menjadi anggota rombongan misi kesenian yang dikirim Soekarno ke New York. Itu ada New York's World Fair. Nah di sana saya nari selama delapan bulan. Jadi waktu itu umur saya 18-19. Lha di sana itu yang saya nari itu dapat gaji," terang pria yang kini menekuni seni lukis sejak 15 tahun belakangan.

Sepulang dari Amerika, Sardono masih bertahan di Surakarta. Sampai suatu ketika datanglah sebuah surat yang menawarinya untuk masuk anggota Dewan Kesenian Jakarta. Dalam surat itu disebutkan, jika mau pindah ke Jakarta, Sardono akan diminta untuk menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta. Ia juga akan diberi kartu penduduk oleh Gubernur Ali Sadikin karena syarat untuk menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta harus penduduk Jakarta. "Terus waktu 1968 saya pindah dari Solo ke sini, Taman Ismail Marzuki. Waktu itu saya diminta untuk menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta. Waktu itu umurku baru 23 tahun," lanjutnya.

Gaji yang ia dapatkan dari Amerika pun tidak serta-merta habis untuk jajan. Malah sebaliknya, Sardono membelanjakan gaji yang didapatnya untuk sebuah kamera. Ia lalu membuat film dengan kamera itu. Sardono tertarik merekam segala sesuatu yang berkaitan dengan seni sejak punya kamera dari hasil menari di Amerika. "Jadi sesungguhnya saya bukan hanya menari, usia 19 tahun saya sudah berlatih untuk membikin film dokumenter. Pada waktu itu belum ada sekolah film. Enggak ada yang ngajari saya. Saya belajar sendiri. Lha ini yang membuka pikiran kemudian bukan hanya menari, melainkan juga senang belajar tentang kebudayaan lewat kamera itu," lanjutnya. Itulah awal Sardono berkenalan dengan dunia film dokumenter. Karya itu pula yang mendapat sambutan hangat dari dunia internasinal dan diputar dalam rangkaian program The Sardono Retrospektif di Singapore International Festival of Arts (SIFA) 2016.

Amerika hingga Asia
Seni telah membawa Sardono keliling dunia. Banyak negara telah dikunjunginya. Ia tercatat sebagai konsultan untuk grup kesenian Sekolah Sukma Bangsa mengikuti Asia Youth Arts Festival di Senzhen, Tiongkok, pada 2007, koreografer Woman in Tsunami dalam Changmu Arts Festival di Korea pada 2007, Direktur Artistik Grup Sekehe Teges Kanginan di Bali ke Festival Metamuziek di Berlin pada 1976, dan kolaborasi dengan Theatre du Bout du Monde: Macbeth Shakespeare di Jenewa pada 1975.

Ia telah banyak berkontribusi untuk dunia seni internasional. Banyak event internasional telah dihadirinya, seperti American Dance Critic Association Conference pada 1990 di Los Angeles dan Artistic Director di Osaka Expo-Jepang pada 1970. Sardono mengaku tidak ada momentum khusus yang menjadikannya seperti sekarang. Ia berpendapat yang terjadi dalam karier kesenimanannya semata-mata proses yang tak terputus. "Itu bukan momentum. Itu proses yang tidak terputus. Kalau momentum kan mendadak. Enggak, itu kan dari delapan tahun mengalir terus. Tumbuh-tumbuh. Ya bikin film bikin ini segala macam dan pergi ke internasional itu sudah otomatis," tegasnya.

Kesungguhan dan konsistensinya dalam dunia seni telah menjadikannya sebagai salah seorang maestro. Maestro Sardono telah mendedikasikan hidup untuk mengeksplorasi budaya sejak awal kariernya. Namun, ada yang melekat dalam ingatannya. Salah seorang guru tarinya pernah berkata, "Kamu jangan belajar di kelas saja, ya." (M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya