Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Meski penuaan merupakan bagian dari proses alamiah, banyak orang tidak ingin menua. Usia boleh bertambah, tapi mereka tetap ingin hidup sehat, juga sebisa mungkin bebas keriput. Beragam teknologi pun dikembangkan untuk tujuan tersebut, termasuk terapi stem cell atau sel punca. "Sel punca merupakan sel tubuh manusia dengan kemampuan istimewa memperbaharui atau meregenerasi dirinya sendiri atau self renewal dan mampu berdiferensiasi menjadi sel lain," ujar peneliti sel punca dari Stem Cell And Cancer Institute (SCI), Yuyus Kusnadi, pada diskusi media jelang seminar kedokteran Dr Boenjamin Setiawan Distinguished Lecture Series (DBSDLS) 2016 yang bertajuk Antiaging Revolution, a Scientific Breakthrough of Stem Cell Therapy di Jakarta, pekan lalu.
Ia menjelaskan, dengan sifat istimewa sel punca, potensi pemanfaatannya untuk mencegah dampak-dampak penuaan sangat besar. "Antiaging tidak selalu ke arah kosmetik dan kulit, namun juga penyakit degeneratif yang banyak dialami orang lanjut usia. Meski potensi sel punca untuk kecantikan kulit memang sangat besar," ujarnya. Sama seperti di negara-negara lain, Yuyus mengungkapkan, terapi sel punca di Indonesia masih dalam tahap uji klinis. Artinya, belum menjadi terapi standar yang bisa diterapkan secara massal. Uji klinis dilakukan di rumah sakit yang sudah ditunjuk pemerintah. Terapi dilakukan dokter spesialis. Pasien yang dilibatkan umumnya mereka yang memiliki penyakit tahap lanjut tanpa ada pilihan jenis pengobatan lain.
Sel punca diperoleh dari diri pasien sendiri maupun dari orang lain yang diolah di laboratorium yang memiliki kapasitas memadai. Di Indonesia, contoh laboratorium itu misalnya seperti yang ada di SCI dan Regenic, bagian dari perusahaan farmasi Kalbe Farma. Sejauh ini, kata Yuyus, uji klinis yang dilakukan di sejumlah rumah sakit di Indonesia menunjukkan hasil beragam. "Ada pasien yang tidak memberikan respons, ada juga yang mengalami perbaikan signifikan." Ia mencontohkan terapi pada pasien gagal jantung. Setelah terapi, ada pasien yang kondisinya sama seperti semula, namun ada yang menunjukkan kemajuan signifikan. "Dari yang tadinya tidak bisa jalan jauh karena cepat capek dan sesak napas, sekarang hobi jalan ke luar negeri."
Pengujian pada pasien luka bakar parah, juga menunjukkan hasil signifikan. "Ketika luka bakar yang sedemikian parah saja bisa membaik, wajar bila banyak pihak juga mengembangkan stem cell untuk keperluan kosmetik," kata Yuyus. Namun, ia mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati terhadap tawaran krim-krim antipenuaan yang mengklaim memakai teknologi sel punca. "Sel punca itu sel hidup. Untuk tetap hidup ia butuh lingkungan tertentu. Tidak mungkin ada di krim di wadah-wadah kosmetik itu."
Mungkin, lanjutnya, klaim berteknologi sel punca yang ada pada krim-krim kecantikan itu merujuk pada penggunaan zat-zat hasil sekresi sel punca. "Ketika sel punca dibiakkan dia mengeluarkan zat-zat pertumbuhan atau growth factor yang memang bermanfaat untuk kecantikan kulit. Mungkin saja krim tersebut memakai growth factor itu. Tapi, sebaiknya konsumen memastikan si produsen memang punya teknologi pembiakan sel punca hingga mampu menghasilkan growth factor tersebut," saran Yuyus.
Hal senada juga disampaikan Direktur Indonesia Center for Antiaging Medicine Universitas Udayana, Bali, Prof dr Wimpie Pangkahila. "Terapi stem cell dapat digunakan untuk orang yang tidak mengalami sakit tertentu tapi mulai ada keluhan efek dari penuaan seperti cepat capek, rambut rontok, atau hasil pemeriksaan darahnya ada kelainan seperti kolestrolnya tinggi terus. Setelah saya berikan terapi stem cell, hasilnya bagus," kata Wimpie yang menjadi salah satu pembicara DBSDLS 2016.
Sama seperti Yuyus, Wimpie juga mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati menanggapi iklan-iklan yang menawarkan pengobatan stem cell dalam kapsul. Dia meminta agar masyarakat jangan mudah percaya. Pembicara lain dalam seminar itu, Prof Thomas A Rando dari Departement of Neurology dan Neurological Science Stanford University mengatakan terapi sel punca juga memiliki risiko. Antara lain, penolakan dari tubuh pasien dan bisa berkembang menjadi kanker. "Tapi, itu dapat diminimalkan dengan pengelolaan dan perhitungan yang terukur."
Rp1 per sel
Pengambilan dan pembiakan sel punca membutuhkan teknologi tinggi. Tak mengherankan biayanya terbilang mahal. Menurut Direktur Stem Cell dan Cancer Institute Sandy Qlintang, satu sel punca dihargai satu rupiah. Untuk terapi dibutuhkan satu juta hingga dua juta sel per kilogram berat badan pasien. "Jadi kalau pasien beratnya 50 kilogram, dosisnya 50 juta sel punca. Terapi tidak hanya satu kali. Bisa tiga kali. Tapi, pengambilan sel punca dari tubuh dilakukan hanya satu kali, kemudian dikembangbiakkan dan disimpan beku dalam tangki nitrogen cair untuk nantinya dipakai lagi," jelasnya. (Ind/H-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved