Sosok Kolonel Inf Agus Hernoto yang menjadi tokoh utama dalam buku berjudul "Padamu Negeri, Jiwa Raga Kami. Legenda Pasukan Komando" patut diteladani lapisan masyarakat, karena ketulusannya dalam menjalankan tugas negara tanpa pamrih. "Saya selaku prajurit yang pernah ditugaskan sebagai anak buah Kolonel Inf Agus Hernoto pada masanya ada banyak hal yang saya peroleh untuk diteladani dari beliau," kata Ketua Umum Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Indonesia Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar, di Jakarta, belum lama ini pada peluncuran buku Agus Hernoto tersebut.
Melalui rilis kepada pers ,Senin (3/8) Menyebutkan sikap keberanian dan pengorbanan Agus Hernoto menurut Agum layaknya seorang prajurit sejati ,begitupun ketika Agus menjadi pimpinan TNI patut dicontoh dan membuatnya kagum. Tidak semua orang mampu menerima resiko penugasan militer yang sangat berpotensi mengancam jiwa atau cidera fisik secara permanen.
"Saya tertegun karena rasa haru sekaligus bangga, atas keberanian dan pengorbanan beliau," imbuhnya. Senada dengan Agum Gumelar, Mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) Kiki Syahnakri mengakui, sikap berani yang ditunjukkan Agus Hernoto secara langsung maupun tidak, ikut membentuk jiwa kemiliteran yang dimiliki menjadi lebih baik. Dan sikap itu selalu diterapkan olehnya dilapangan khususnya diwilayah rawan konflik dan Timor-Timur.
"Keteladanan Pak Agus selalu melekat pada diri saya," ujar Kiki. Dalam buku "Padamu Negeri, Jiwa Raga Kami: Legenda Pasukan Komando" menyebutkan Agus Hernoto Sejak muda, telah terpanggil memperjuangkan kedaulatan bangsa yang mengalir dalam dirinya. Sebagai pemuda, ia menempuh pendidikan calon tentara, yang kemudian berlanjut ke RPKAD di Batujajar, Bandung, dan US Army Special Warfare School, North Carolina, AS,untuk kemudian menjadi bagian dari angkatan pertama pasukan komando yang dikenal Indonesia.
Pada 26 April 1962, Agus Hernoto diterjunkan sebagai tim advance ke pedalaman Irian Barat dari atas pesawat, di tengah konflik perebutan wilayah itu dengan Belanda. Selama berbulan-bulan bertahan hidup di tengah belantara dan diserang pasukan Belanda, Agus sempat tertangkap. Di sinilah ia harus menanggung siksaan interogasi – kakinya yang tertembak kerap ditusuk bayonet agar mau mengaku. Misi itu usai dengan kedaulatan Irian Barat yang masih menjadi bagian dari Indonesia. Agus pulang di Jakarta, namun kaki kirinya harus diamputasi.
Setelah itu,Agus dikeluarkan dari angkatan karena terjegal peraturan mengenai persyaratan kondisi fisik, tetapi semangatnya untuk bangsa tidak pernah padam. Setelah tidak lagi berada di korps baret merah, Agus mulai terjun dalam dunia intelijen bersama Benny Moerdani dan Ali Moertopo di dalam tim Opsus. Bersama mereka melakukan berbagai misi penting untuk Indonesia, seperti mengatasi konflik Timor-Timur. Dari perjalanan karirnya, Agus yang kelahiran lahir Tambak, Jawa Tengah, pada tahun 1929 ,memperoleh sejumlah bintang jasa dari negara.
Ketika masih menyandang pangkat Letnan Dua,di tahun 1963, ia sudah dianugerahi Satya Lencana Satya Dharma dari Wakil Menteri Pertama Bidang Pertahanan/Keamanan Jenderal A.H. Nasution. Tetapi yang paling berkesan ketika pada tahun 1987 ia dianugerahi Bintang Sakti oleh Presiden Soeharto merupakan bintang penghargaan tertinggi bagi prajurit TNI yang melakukan suatu tindakan yang sangat luar biasa dengan melampaui panggilan tugas negara dan menunjukan sifat-sifat kepahlawanan dengan mempertaruhkan jiwa dan raganya sehingga memberikan sumbangsih kepada negara dan bangsa.
Saat itu diumumkan ia menerima anugerah Bintang Sakti.Agus Hernoto tercatat sebagai Perwira Menengah di Badan Intelijen Strategis ABRI dengan pangkat Kolonel. Pada penganugerahan Bintang Sakti itu, Agus sudah wafat tiga tahun sebelumnya, yaitu pada 1984 di usia 54 tahun karena kanker hati. Bintang itu diberikan kepada Agus yang dianggap telah melaksanakan tugas yang melebihi kapasitasnya. Agus pun menepati ikrarnya, tetap mengabdi di angkatan hingga akhir hayat.(bay)