Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Krisis Iklim Sama dengan Krisis Hak Anak

Dinda Shabrina
22/7/2022 15:25
Krisis Iklim Sama dengan Krisis Hak Anak
Ilustrasi(ANTARA)

BEBERAPA hari yang lalu Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika mengungkapkan bahwa kenaikan suhu sebesar 1 derajat saja, dapat menimbulkan dampak cuaca ekstrem dan bencana hidrometeorologi. Musim yang tak beraturan, banjir melanda di waktu-waktu yang seharusnya kemarau datang, ini semua akibat dari perubahan iklim yang ekstrem. 

Jarang terpikir oleh kita, bahwa dampak dari bencana yang ditimbulkan dari perubahan iklim yang ekstrem ini justru mengorbankan hak-hak anak. Krisis iklim yang terjadi berarti sama dengan krisis terhadap hak-hak anak. Hal ini disampaikan Ketua Yayasan Save the Children, Selina Petta Sumbung. Ia mengungkapkan data dari survei yang dilakukan lembaganya, bahwa anak yang lahir tahun 2020-an di belahan dunia manapun, akan mengalami situasi yang lebih buruk karena ada fenomena krisis iklim. 

Baca juga: Pelacakan Kasus dan Vaksinasi Booster Harus Ditingkatkan untuk Cegah Klaster Sekolah

“Data krisis iklim yang kami temui anak yang lahir 2020 ke atas terancam menghadapi dampak terburuk krisis iklim, dibandingkan dengan kakek nenek mereka yang lahir 1960an. Sekarang ini dengan dampak krisis iklim, anak-anak Indonesia berisiko menghadapi lebih banyak risiko kebakaran hutan. Tiga kali lebih banyak banjir luapan sungai. Tiga kali lebih banyak gagal panen. Dua kali lebih banyak kekeringan, Serta tujuh kali lebih banyak gelombang panas,” kata Selina dalam sebuah diskusi soal hak anak dan krisis iklim, Jumat (22/7).

Di Indonesia sendiri, kata Selina, BNPB telah merilis berbagai bencana sejak januari sampai juni 2022, sepanjang setengah tahun itu disebutkan sudah terjadi 1.733 bencana. “Ada juga data yang menyebut bahwa sudah lebih dari 4000 bencana yang terjadi di Indonesia sampai hari ini,” imbuh Selina. 

“Kita analisa bahwa bencana alam terbesar itu adalah banjir, cuaca ekstrem, dan kita lihat kedua bencana ini murni bencana hidrometeologi. Berarti dampak krisis iklim sudah sangat terasa apalagi buat anak-anak yang menjadi kelompok rentan saat bencana,” sambung dia. 

Krisis iklim itu, kata Selina sangat berdampak pada kesehatan anak, kesejahteraannya serta dampak sosial dan ekonomi yang harus dihadapi keluarga anak. Kondisi krisis iklim ini, dinilai sangat tidak ideal bagi tumbuh kembang anak, yang mana hak tumbuh kembang itu sendiri merupakan hak dasar anak. Itu sebabnya mengapa krisis iklim sama saja dengan merenggut hak-hak dasar anak.

“Ancaman krisis iklim itu seperti efek domino. Ada anak di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, rumahnya terendam laut karena abrasi pantai. Dampaknya anak itu tidak bisa sekolah, ayahnya kehilangan mata pencarian, karena tidak bisa pergi melaut, kesehatan keluarga terganggu, anak itu diare dan mereka sekeluarga gatal-gatal. Akibat kekurangan air bersih dan lingkungan yang tidak higienis. Itu hanya satu contoh. Kita bisa melihat banyaknya bencana alam yang terjadi ini direplikasi dari ribuan bahkan jutaan anak Indonesia yang merasakan dampak dari krisis iklim itu,” ungkap Selina.

Perwakilan dari suara anak, Dewan Penasihat Anak dan Orang Muda, Kahfi menyampaikan keluh kesahnya akan kondisi alam saat ini. Sebagai seorang anak, ia merasa kelompok anak tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam. 

Sebagai subjek kehidupan yang sama-sama hidup di atas bumi, Kahfi menilai suara anak selalu dipinggirkan. Padahal, menurut Kahri apabila sesuatu terjadi pada alam, pihak anak justru menjadi yang paling rentan terkena dampaknya.

“Kami tidak pernah diajak berdiskusi. Padahal kami yang paling terdampak. Kalau terjadi bencana, kami tidak bisa sekolah, hak pendidikan kami terhenti. Ada cerita, saya pernah melakukan aksi di daerah bantaran sungai, akses pergi ke desa itu susah banget, selama perjalanan kami menemukan banyak sekali sampah berserakan. Bahkan di daerah itu, di desa itu, cuma ada 1 kamar mandi untuk dipakai bersama. Dan sumber airnya itu dari sungai. Sedangkan sungai itu sudah teremar. Bagaimana anak-anak yang menggunakan air dari kamar mandi itu? Otomatis kesehatan anak terancam,” jelas Kahfi.

Ia mengharapkan agar pemerintah mau membuka ruang diskusi dan memberikan hak dasar anak, yakni berpartisipasi. “Tolong buka ruang dialog dengan anak-anak seluas-luasnya dengan keterlibatan anak juga di dalamnya, agar upaya mitigasi dari perubahan iklim ini dapat membuahkan keadilan iklim yang ramah anak,” tutur dia. 

Sementara itu, Peneliti Madya Adaptasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Arif Wibowo menyebut pemerintah telah memiliki instrument tentang kerentanan dan risiko perubahan iklim sejak 2014. Namun, informasi tentang hak-hak anak dalam instrument itu memang belum disertakan. 

“Mungkin ini bisa menjadi PR buat kita, bagaimana indikator pemenuhan hak itu bisa masuk ke sana. Apa saja yang bisa diusulkan, masalah kebutuhan hidup, hak akses dan sebagainya. Saya kira secara teknis, kita terbuka untuk ruang itu,” kata Arif. 

Ia juga mengungkapkan pemerintah sangat senang apabila anak-anak mau menjadi pelopor dan proaktif untuk berdialog mengenai perubahan iklim ini. Arif juga mengharapkan anak-anak mampu bersinergis dan menyuarakan pendapatnya.

“Saya tertarik soal terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Saya boleh usul, apakah kita bisa perjuangkan bersama-sama, ada perwakilan dari anggota dewan di gedung rakyat itu. Ada yang mengangkat itu setidaknya di situ, ada isu keterwakilan remaja di sana. Saya pikir ini sudah waktunya. Karena isu ini sangat penting dan perlu kita perjuangkan dari segala level,” tandasnya. (OL-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria
Berita Lainnya