Headline

Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Akademisi UGM: Tanda-Tanda Ancaman Krisis Pangan Kian Nyata

Ardi T Hardi
22/6/2022 23:30
Akademisi UGM: Tanda-Tanda Ancaman Krisis Pangan Kian Nyata
Petani saat memanen padi hasil jerih payahnya.(MI/Amiruddin R)

DOSEN Pertanian UGM, Ir Jaka Widada MP, PhD, menyatakan tanda-tanda akan terjadi krisis pangan itu sudah ada, diantaranya dengan iklim yang tidak menentu, hujan ekstrem, bencana alam, dan lain-lain.

Pasalnya, tanda-tanda tersebut membuat petani gagal panen, misalnya karena kebanjiran, kekeringan, ataupun ledakan hama dan penyakit.

"Itu sebenarnya tanda-tanda krisis pangan akan terjadi. (Di sisi lain), jumlah penduduk terus naik, sementara kenaikan jumlah pangan tidak seimbang dengan kenaikan jumlah penduduk," kata dia, di Fakultas Pertanian UGM, Rabu (22/6).

Food and Agriculture Organization (FAO) pun telah memperkirakan, pada 2050 penduduk dunia tembus 10 miliar yang berkonsekuensi pada peningkatan kebutuhan akan pangan yang sangat besar. Untuk itu, produksi pangan dunia harus ditingkatkan, termasuk Indonesia.

Ia mengatakan, upaya peningkatan produksi pangan bisa dilakukan dengan beberapa langkah, dari mampu beradaptasi dengan perubahan iklim, pengembangan varietas yang adaptif, memenuhi kebutuhan pupuk, berperilaku tidak boros, hingga regenerasi petani.

"Yang dilakukan pemerintah dengan membangun sejumlah embung sudah benar meski terkadang belum pas karena dilakukan dengan tidak memperhatikan posisi strategis embung sebagai daerah tampungan air," nilai dia.

Pembangunan embung bisa menjadi salah satu cara untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Cara lainnya adalah pengembangan varietas-varietas tanaman yang adaptif terhadap perubahan iklim. Pengembangan padi varietas Gamagora, contoh dia, didesain agar bisa tumbuh baik dengan kebutuhan air yang jauh lebih sedikit.

"Varietas-varietas yang ada saat ini untuk produktivitas 1 kg beras masih memerlukan sekitar 2.500 liter air, kita berharap hal itu bisa diturunkan di bawah 100 atau 50 liter untuk per kilo beras," jelas dia.

Ke depannya, pengembangan varietas-varietas adaptif terhadap perubahan iklim harus lebih banyak dilakukan.

Terkait pupuk, ia menyoroti tentang harga pupuk saat ini sangat mahal dan diperkirakan akan terus naik seiring langkanya sumber daya alam pembuat pupuk, seperti gas alam dan lain-lain. Oleh sebab itu, teknik budidaya pertanian pun ke depan harus bisa menghemat pupuk.

Pembuatan pupuk secara mandiri yang berdasarkan pengembangan biologi tanah dan biologi tanaman bisa dilakukan untuk menggantikan pupuk pabrikan.

"Orang bisa membuat pupuk nitrogen sendiri dengan sangat murah dan bisa menggantikan 50 persen dari pupuk (pabrikan) yang harus digunakan. Sayangnya petani Indonesia secara umum belum memperhatikan hal-hal seperti itu," terang dia.

Dalam aspek sosial, Jaka mengatakan, sudah saatnya edukasi kepada anak-anak muda agar tertarik menjadikan petani sebagai profesi gencar dilakukan.

"Intinya dengan internet of things mudah-mudahan menarik anak-anak muda menjadi petani milenial tapi dengan penghasilan yang cukup," kata dia.

Berdasarkan pengalamannya, di lahan sekitar 400 meter persegi dengan sistem pertanian hidroponik, hasilnya cukup menjanjikan asal ada kemauan. (OL-13)

Baca Juga: Pemkab Garut Pecahkan Rekor MURI Tebar Benih Ikan 7,6 Juta Ekor



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Muhamad Fauzi
Berita Lainnya