SEJAK kepindahannya dari Sulawesi ke Surabaya pertengahan 2018, Ghina Debora bersama sang suami yang merupakan pendeta di komunitas keagamaan Kingdom of God, punya kegiatan baru. Tiap dua kali dalam sepekan, Ghina akan masak dalam porsi 100-300 porsi. Makanan itu bukan untuk jemaat suaminya, melainkan dibagikan ke beberapa titik di Surabaya, seperti ke kawasan Kembang Kuning, Terminal Bus Joyoboyo di daerah Sawunggaling, Wonokromo, hingga ke kolong-kolong jembatan dan area rel kereta api.
Makanan itu dibagikan ke kelompok pekerja informal, seperti tukang becak, pemulung, hingga kelompok marginal. Sampai kemudian pandemi covid-19 datang, bagi-bagi makan yang diinisiasi secara individu oleh Ghina terhenti selama dua pekan ketika masa awal pandemi. Kala itu, ia berpikir agar kegiatannya juga tidak menimbulkan keramaian dan mendatangkan permasalahan baru untuk laju penularan virus. Bagi-bagi makan yang sebelum pandemi biasanya berada di titik-titik tertentu, kemudian beralih dengan berbagi makan menggunakan kendaraan pribadi untuk meminimalisasi kerumunan.
Puncaknya, ketika pandemi covid-19 memasuki gelombang kedua pada medio Juni 2021, inisiatif bagi-bagi makan yang dicetuskan Ghina bukan lagi aksi individu, melainkan menjadi gerakan masif solidaritas warga lewat wadah bernama Dapur Umum Surabaya. Sejak Juni hingga kurun tiga bulan setelahnya, Ghina dibantu oleh anak didik suaminya dan banyak warga secara sukarela menyiapkan sekira 2000 porsi makan dalam sehari untuk warga yang tengah menjalani isolasi mandiri maupun mereka yang sudah tidak bisa lagi bisa mengakses pekerjaan akibat PHK.
“Saya juga kaget begitu banyak volunteer yang mau membantu. Saya melihat ada semacam energi persatuan dan keinginan orang-orang untuk membantu, yang notabene banyak dari mereka sebenarnya tidak saya kenal, tapi tiba-tiba muncul dan datang untuk membantu,” kata Ghina lewat konferensi video bersama Media Indonesia, Sabtu, (25/12).
Saat itu, Ghina memang tengah butuh banyak bantuan tenaga untuk bisa mendistribusikan makanan. Ketika gelombang kedua covid melanda, ia sempat menyebar flyer untuk mengabarkan kepada siapa yang butuh makan agar mengontaknya. Awalnya dia mengira paling hanya sekitar 100-200 orang yang butuh makan. Tapi ternyata pesan yang masuk hingga ribuan. Bahkan, sempat dalam sehari ada 5.000 pesan yang masuk.
Selain dibantu oleh anak didik suaminya, Dapur Umum Surabaya kemudian merekrut sekitar empat admin untuk mengurusi pesan yang masuk. Merekrut hingga enam pekerja dapur, dan 60-an kurir. Meski ada yang sukarela, beberapa di antaranya tetap diupah sebagai ganti tenaga. Seperti admin yang juga mendapat upah. Begitu juga kurir yang dalam sehari pengantaran mendapat upah Rp100 ribu. Ketika itu, ia juga melihat banyak orang yang datang ke dirinya dan mengatakan butuh pekerjaan.
Tentunya, kerja solidaritas Ghina bersama orang-orang di balik Dapur Umum Surabaya itu turut meringankan sedikit kesulitan warga Surabaya ketika pandemi masuk gelombang kedua.
Dari tukang parkir
Meski ketika itu Dapur Umum Surabaya membuka donasi dan mendapat sumbangan, tidak sedikit pula sumber pendanaan berasal dari kantong pribadi Ghina. Ia bahkan sempat melepas perhiasannya untuk mengongkosi aksi solidaritas tersebut. “Sebab ketika itu saya sudah tidak pegang tabungan sama sekali,” kata Ghina.
Sebenarnya, upaya itu juga bukan semata aksi nekatnya. Menurut cerita Ghina, ia juga pernah susah dan tak sanggup beli makan ketika masih bekerja di Malang pada sekitar 2014. “Selama sebulan saya enggak punya uang. Keluarga jauh di Sulawesi, dan saat itu saya butuh makan. Waktu selama sebulan itu benar-benar kayak ingin teriak, ‘saya butuh makan!’ Tapi saya memilih berdoa. Tuhan, tolong kalau enggak ada orang yang kasih makan saya bisa mati.”
Pertolongan itu datang dari seorang tukang parkir yang tidak dikenalnya, dan tiap hari memberi sekotak makan untuk Ghina. Mengingat momen itu, Ghina merasa terharu karena bisa mendapat makan yang begitu berharga.
“Sejak itu saya janji dalam hati. Tuhan, kalau saya diberkati punya lebih akan beri orang makan. Dari situlah yang menjadi landasan saya tidak pernah berhenti memberi makan bagi mereka yang butuh. Meski sesederhana sekotak makan, bagi orang yang lapar itu benarbenar sangat membantu dan berarti bagi mereka.”
Untuk mengakomodasi gerakan sosialnya, Ghina bersama suaminya pun lalu membentuk Yayasan Berkat Tuhan Bekerja. Rencananya, ke depan yayasan tersebut juga akan menjangkau beberapa kota di luar Surabaya untuk melakukan aksi serupa. Salah satunya, di Kota Malang.
Salah satu yang juga menjadi fokus yayasan nantinya ialah membentuk rumah yang bisa menjadi tempat tinggal dan berbagi kasih untuk anak yatim piatu.
“Ingin ada satu rumah benar-benar menjadi rumah kehidupan di mana orang-orang yang butuh bisa mendapat kehidupan dan kasih serta perhatian. Bukan sekadar ditampung, tetapi benarbenar menjadi orang yang berarti,” tutur Ghina. (M-4)