SABTU dan Minggu, Heru Gembul bersama beberapa kawannya biasa ngelapak (menggelar dagangan) dengan memajang beberapa barang, dari perangkat makan hingga pakaian, di Jalan Siwalan Nomor 1, Kerten Laweyan, Solo. Kegiatan itu sudah rutin dilakukan sejak akhir 2019. Tidak untuk dijual, tetapi dipertukarkan. Itu sebabnya gerakan mereka disebut Joli Jolan alias ijol-ijolan yang artinya tukar-menukar.
Namun, sejak pandemi menghantam pada 2020, kegiatan tersebut pun terhenti. Acara tukar-menukar barang yang sudah tidak terpakai itu pun kemudian beralih ke kegiatan yang merespons situasi warga di Solo. Gembul bersama kawan-kawannya lalu menginisiasi pendistribusian sayur hasil tanam petani di lereng Merbabu yang sempat kesulitan mendistribusikan karena berbagai kebijakan pembatasan sosial.
“Jadi, kami berinisiatif untuk mengambil sayur-mayur itu. Mereka jual ke kami kemudian kami bagikan di lapak Joli Jolan,” kata Heru Gembul saat berbincang dengan Media Indonesia melalui sambungan telepon, Selasa (14/12).
Heru mengatakan ia bersama kawannya di Joli Jolan membeli sayur milik petani di lereng Merbabu itu dengan harga di pasar, bukan dengan harga tengkulak. Sayur yang dibeli pun tidak hanya berasal dari satu petani, tetapi mereka memilih untuk bergantian membeli dari sejumlah petani. Biasanya, dalam sekali pembelian berkisar Rp150 ribu. Uang tersebut didapat dari donasi yang masuk ke Joli Jolan.
“Sayur yang kami beli itu lalu didistribusikan ke teman-teman yang terdampak PPKM, termasuk mereka yang menjalani karantina mandiri. Itu biasanya kami cantelkan di depan rumah. Kalau untuk datanya kami andalkan dari teman-teman. Misal, ada tetangga mereka yang memang membutuhkan bantuan,” ujar Heru.
Bantu PKL
Selain membantu petani, inisiatif yang juga dilakukan Joli Jolan ialah dengan turut melariskan dagangan para pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di sekitar tempat mereka ngelapak. Pembatasan sosial juga turut berdampak ke para pedagang yang biasanya keliling dari kampung ke kampung. Jajan PKL dilakukan pada Sabtu dan Minggu.
“Kami biasanya ngelapak itu dari pukul 10.00-12.00. Nah, kalau ada pedagang yang lewat misalnya kayak tahu kupat, itu kami jajan dengan porsi yang banyakan. Belinya tergantung yang lewat. Kami enggak yakin dengan misalnya kami jajan Rp150 ribu itu bisa bantu mereka. Tapi ya itu semampunya kami dan yang penting ketika hari itu mereka pulang, bawa uang,” tutur Heru.
Saat ini, karena situasi juga sudah berjalan normal, lapakan Joli Jolan yang sebelum pandemi berjalan sebagai ajang saling bertukar barang pun telah dilakukan kembali. Jajan PKL pun menjadi salah satu program yang mendampingi program tukar-menukar yang biasa mereka lakukan.
“Kalau saya personal beranggapan, kita menolong hari ini sama saja dengan menolong untuk diri sendiri di esok hari. Karena kita bantuin orang sekarang, bisa jadi besoknya kita menghadapi masa-masa sulit. Jadi, menurut saya, ya seperti itu solidaritas yang terjadi di masa pandemi ini,” tambah Heru.
Ke depan, Joli Jolan bersama beberapa gerakan yang berfokus di isu sosial di Solo juga tengah merencanakan beberapa program agar ekonomi sirkular juga terus berjalan. (M-4)