Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
MUNGKIN beberapa orang belum bisa menerima setiap keterbatasan yang ada dan menganggapnya diri sebuah kelemahan. Padahal, bisa jadi keterbatasan yang dimiliki justru membuka peluang untuk bisa hebat di bidang tertentu. Inilah yang berhasil dibuktikan Aqillurachman Prabowo, penyandang disleksia dan sindrom asperger.
Disleksia merupakan gangguan proses belajar yang ditandai dengan kesulitan dalam belajar seperti menulis dan membaca. Sementara itu, asperger ialah gangguan saraf yang termasuk spektrum autisme, yang tidak jarang memengaruhi penyandangnya dalam berkomunikasi ataupun berinteraksi sosial.
Remaja yang masih duduk di kelas tiga SMA itu menemukan seni sebagai dunianya melalui terapi menggambar yang ia lakukan untuk mengatasi disleksia. Lantaran bosan dengan pola yang kerap kali dia gambar dalam terapi tersebut, Aqil kemudian berkreasi untuk membuat gambar yang lebih menarik. Setelah terus-menerus melukis dengan karya-karya yang bagus, dia pun memantapkan diri menjadi seorang seniman yang berbudaya dan telah memamerkan karya di berbagai pameran sejak 2015.
Yuk, simak obrolan Muda dengan Aqil dan ayahnya, Roy Saputro, via platform daring, Rabu (8/12).
Sebagai penyandang disleksia, juga asperger, seperti apa kesulitan yang kamu alami?
Aqil: Kesulitannya saat membaca dan berbicara. Jadi, misalkan membaca, sebenarnya susah sampai sekarang. Membaca itu kalau sudah kehilangan fokus, hancur bacaannya dan lompat-lompat ke paragraf lain.
Saat berbicara, kalau harus berbicara resmi, itu membutuhkan tenaga lebih untuk memilah kata-kata yang benar. Dalam forum pembicaraan, ketika aku harus berdiskusi atau menjelaskan sesuatu secara runtut, aku menjelaskan loncat-loncat dan enggak runtut.
Apakah kondisi tersebut menghambat hubungan sosial kamu?
Aqil: Tidak, karena Abi sama Umi ajarkan kita harus saling terbuka. Jadi, kita komunikasikan satu sama lain dalam hal apa pun.
Roy: Kita membiasakan dari kecil itu untuk (makan) di meja makan. Penting karena di meja makan, semua komunikasi bisa terjadi, termasuk baik dan buruknya.
Orang-orang disleksia pada umumnya memiliki rasa empati yang besar sekali, cuma kendala di berbahasa saja. Di Aqil, ditambah dengan aspergernya yang membuat konteks bahasa sosialnya juga kurang.
Aqil pada dasarnya suka berteman dan mudah bergaul, cuma kembali lagi ke teman-temannya. Dulu pas di sekolah formal, Aqil susah kalau ada tugas kelompok karena teman-temannya banyak yang enggak mau satu kelompok sama Aqil. Namun, di luar itu, pertemanan Aqil baik-baik saja.
Bagaimana proses perjalanannya hingga mencapai kemajuan saat ini?
Roy: Saya membiasakan Aqil untuk membaca, seperti membaca artikel, koran, dan komik. Untuk mengerti cerita di satu halaman, dia harus memahami lima atau 10 kali karena kelompatan atau ada kalimat yang belum terbaca.
Sampai sekarang, dalam satu minggu, Aqil harus mengumpulkan 10 kosakata baru walaupun masih belum mengerti (arti). Nanti pas weekend akan dibahas bersama saya dan ibunya. Dulu, dibahas satu atau dua kosakata baru, sekarang sudah 10 kosakata baru.
Saat kamu kesulitan belajar, kamu diikutkan terapi dengan menggambar? Boleh diceritakan?
Aqil: Warna itu punya dunianya sendiri buat aku jika dibandingkan dengan garis. Garis hanya sebuah bentuk, sedangkan warna juga bisa sebuah bentuk, tapi juga bisa menjelaskan emosi.
Kalau aku salah menggabungkan warna, itu akan menghancurkan makna karyanya. Dulu, yang membuat kesal ialah warnanya tidak sesuai dengan apa yang aku ingin sampaikan.
Lalu, aku belajar cara memahami warna pelan-pelan. Awalnya, lukisannya memakai warna-warna dasar, misalnya, satu dan dua warna digabung. Sekarang sudah bisa digabung semua karena aku sudah berpengalaman menggunakan warna-warna tersebut.
Aku juga sudah mengenal emosi dari warna-warna tersebut sehingga aku bisa mengomunikasikan emosi aku melalui warna ini.
Sejak kapan kamu kemudian jadi suka menggambar atau melukis ini?
Aqil: Awalnya itu dimulai saat aku terapi pattern, umur 7 atau 8 tahun. jadi aku disuruh membuat kayak bulat full di kertasnya. Nah, itu kan membosankan, jadi Abi sama Umi menyarankan untuk membuat sebuah bentuk. Nah, dari sini, aku bisa menciptakan sebuah karya.
Bagaimana kamu mengembangkan ide dan imajinasi untuk melukis gambar yang sarat makna?
Aqil: Kebanyakan membuatnya tidak dikonsep seperti dibuat sketsa dulu. Langsung digambar di kanvas. Jadi, awalnya enggak tahu bakal bikin gimana. Namun, dengan ketidaktahuan itu terpancarkan emosi aku dan bisa menghasilkan kreasi dalam proses membuatnya.
Dari mana kamu biasanya mendapat ide untuk lukisan kamu?
Aqil: Sebenarnya semua orang punya banyak ide dan inspirasi, tapi yang harus diasah ialah kepekaan. Kita bisa menemukan dari hal-hal terdekat kita, misalnya, aku sedang menyisir rambut. Nah, kalau orangnya peka, dari sisir saja bisa diambil ceritanya sebagai inspirasi.
Ceritakan dong proses karya yang berkesan buat kamu?
Aqil: Dulu aku pernah punya karya yang namanya Apa Serunya Normal? Itu media kanvas dengan ukuran 2 meter x 2 meter dan pengerjaannya satu tahun. Itu merupakan lukisan pertama aku yang paling besar di kanvas.
Pengerjaan lukisan ini juga unik. Jadi, lukisan itu diletakkan di lorong rumah, lalu aku melukis saat aku pengin melukis saja di kanvas putih itu. Bahkan, aku melukisnya enggak sampai 1 jam, cuma 30 menit saja. Saat jalan di lorong itu melihat lukisannya 'oh ada yang kurang' terus aku melukis lagi.
Lukisan itu menceritakan tentang diri aku. Ini menjadi sebuah kalimat seruan untuk teman-teman disleksia, autis, ataupun asperger agar percaya diri saja karena apa serunya normal sih? Justru ketidaknormalan itu merupakan sebuah keunikan dan identitas.
Cerita konsep ini juga terpancarkan dari proses pengerjaan lukisan ini. Jadi, lukisan ini juga menjelaskan tentang emosinya karena setiap hari mengerjakan meskipun cuma beberapa menit itu menggambarkan bagaimana emosi aku setiap harinya dalam satu tahun itu.
Apakah seniman akan menjadi profesi yang kamu tekuni ke depannya?
Aqil: Aku yakin menjadi seniman karena, pertama, profesi itu harus sesuai dengan kegemaran kita. Kedua, karena kita tinggal di Indonesia, kebudayaan kita beragam. Aku memasukkan budaya-budaya Indonesia karena menurut aku penting sekali karena keberagaman itu indah sekali.
Roy: Iya, memang dia sudah mau ke arah ini. Bentar lagi mau kuliah, dia mintanya sudah ke arah ini juga. Dia juga bilang ingin menjadi seniman yang berbudaya.
Kita selalu mengajarkan mereka kalau apa pun yang dicita-citakan, lakukan dengan cinta. Karena apa pun yang akan dilakukan dengan cinta dan tulus, hasilnya pun akan bagus dan maksimal.
Seperti apa saja unsur budaya yang kamu tuangkan di lukisan?
Aqil: Unsur budayanya seperti pattern wayang. Kadang juga sering aku mengambil sisi moral dari karakter pewayangan yang aku translate. Lalu, karakter pewayangan ini juga aku tuangkan di lukisan, misalnya, hidungnya. Pattern-nya juga kadang hasil translate-nya aku terhadap batik, maksudnya sebagai batik yang digambarkan oleh aku.
Roy: Dia menuangkannya lewat pattern yang dia bentuk dan emosi dari karakter wajah sebenarnya semua itu dia terinspirasi dari gambar-gambar wayang dan relief candi. Itu karena memang dari kecil dikenalkan dan menjadi suka sekali dengan dunia pewayangan dan dunia raja-raja, Jawa, dan lainnya.
Mungkin kalau kita lihat di bidang-bidang lukisan yang besar memang tidak semuanya, tetapi jika kita lihat satu per satu pasti ada yang dia masukkan seperti pattern, karakternya, bahkan nilai-nilai negara kita seperti gotong royong pun dia masukkan.
Siapa seniman yang kamu suka, Aqil?
Aqil: Perupa yang di Indonesia aku suka Heri Dono, Hendra Gunawan, dan Affandi di dalam negeri. Aku senang sekali dengan karyanya karena warna-warna yang dipakai, buat aku emosinya karya-karya mereka dapat banget. Selain itu, aku juga pengin berpameran ke Museum of Modern Art (MoMA) karena banyak pelopor perupa yang berpameran ke sana.
Adakah tantangan saat melukis dan menggambar?
Aqil: Tantangannya ya enggak bersih.
Roy: Tantangannya karena dia disleksia, memory disorder, jadi menaruh warna apa, terus lupa, ya sudah jadi kacau. Lalu, taruh kuas, dia sendiri yang taruh, tapi dia nanya ke bapaknya. Itu dari segi internal.
Dari segi eksternal, Aqil tidak bisa ke kanan dan ke kiri untuk saat ini yang terjadi. Jadi, saat Aqil mau masuk ke dunia lukis atau percaturan kesenian secara umum enggak bisa karena satu, dia dianggap terlalu muda. Kedua, bahkan ada pengalaman kita yang tidak mengenakkan seperti dikatakan ini bukan karya lukis dan bukan karya terapi anak cacat (difabel).
Kita mau masuk ke disability art juga tidak bisa karena Aqil lengkap secara fisik. Jadi, susah untuk saat ini masuk ke mana. Secara kasarnya sekarang kita jalan dengan cara kita sendiri. Namun, akhirnya alhamdulillah beberapa waktu lalu, kita bisa masuk di Jogja Disability Art International, pameran disabitas seluruh dunia di Yogyakarta dua bulan yang lalu.
Kamu juga pernah melelang lukisan kamu untuk donasi. Apakah kegiatan kebaikan ini juga terus kamu lakukan?
Aqil: Iya, betul.
Roy: Selain itu, ada sebuah kafe di daerah Kebagusan, Jakarta Selatan. Di kafe itu semua pekerjanya 80% bisu dan tuli. Di situ Aqil menyumbangkan satu lukisan 1,5 meter x 3 meter sama Aqil melukis di situ, di kanvas ukuran 4 meter x 6 meter di kafe itu beberapa waktu lalu.
Dulu, waktu awal-awal pandemi juga dia melihat beberapa temannya ada yang bapaknya kena PHK, lalu dia berinisiatif menjual bukunya dan beberapa persennya disumbangkan ke teman-temannya itu.
Lalu, dia jual masker dari penjahit tetangga yang pelanggannya sepi karena dampak pandemi. Dia kasih orderan masker lalu dijual dan penghasilan jualannya dikasih lagi ke penjahitnya. Bahkan, dia punya cita-cita untuk ini juga dari dulu.
Wah, cita-cita apa itu?
Aqil: Pengin membuat sebuah creative hub yang semua orang dengan kondisi mereka, seperti bisu dan tuli, bisa mengomunikasikan karya seni mereka.
Bagaimana sosok orangtua dalam perjalanan hidup kamu?
Aqil: Umi sama Abi ialah sosok pahlawan buat aku karena membantu dan menyiapkan aku untuk masa depan juga. Selain itu, sebagai head start juga untuk mengetahui dunia luar seperti apa dan cara bersikap juga.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved