Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Kampiun berkat sang Ibu

Nike Amelia Sari
11/11/2021 06:00
Kampiun berkat sang Ibu
Atlet wushu William Ajinata.(Dok. Pribadi)

SEJAK cilik, William Ajinata sudah tertarik dengan ilmu bela diri. Gara-gara tontonan action yang sering dilihatnya, William kecil ingin bisa sehebat superhero dalam dunia nyatanya.

Dorongan tersebut kelak membawa dirinya menjadi salah satu atlet wushu yang diperhitungkan. Tak hanya di Indonesia, prestasi William juga hingga ke kancah global, salah satunya Kejuaraan Dunia Wushu Antaruniversitas FISU World University Wushu Championship di Makau pada 2018 dengan 2nd Place Nanquan dan 3rd Nangun.

Senin (22/10), William yang baru saja meraih medali emas dan perak di PON Papua berbincang dengan Muda tentang kiprahnya selama menekuni wushu, peran sang ibu, juga kiat-kiat menjadi seorang atlet berprestasi. Berikut petikan percakapan kami via platform daring.

 

Kesuksesan kamu sebagai atlet dimulai dengan latihan perdana kamu di usia 5 tahun, ya. Kok dulu tertarik belajar wushu?

Saya waktu kecil suka action, suka nonton Power Rangers. Akhirnya, saya suka bela diri dan ingin ikut wushu. Setelah itu, ibu saya mendaftarkan saya untuk ikut wushu.

Dulu, kakak pertama dan kakak sepupu memang ikut wushu. Mereka ikut wushu yang fight, tapi yang saya ikut wushu yang seninya.

 

Kapan pertama kali kamu bertanding? 

Waktu itu pada 2002 atau 2003, saya ingat ada pertandingan satu sasana aja. Kalau di Wushu ada permainan, misalnya, satu set, nah satu set terdiri atas empat sesi. Dulu, setiap kali pertandingan karena terlalu grogi, perut saya langsung mulas.

Semakin bertambahnya usia, saya kalau panik itu selalu berkeringat terus, saya ke mana-mana mesti bawa handuk. Sampai sekarang masih bawa handuk karena kebiasaan. Sekarang, saya masih butuh handuk untuk mengatasi grogi saya. Enggak tahu kenapa kalau pegang handuk groginya berkurang.

 

Apa faktor grogi itu juga yang mendorong kamu berpesan agar keluarga kamu tidak menonton pertandingan kamu saat PON Papua lalu? 

Dulu pernah ada live streaming dan orangtua menonton. Waktu mau pertandingan, seperti orangtua pada umumnya, ibu saya khawatir sehingga tanya terus tentang update pertandingan gimana, sedangkan saya perlu fokus untuk pertandingan. Makanya di PON Papua, sebelum berangkat saya bilang, 'Mama enggak usah lihat. Nanti dikabari bagaimana hasilnya’.

Nah, pas saya kasih kabar kalau berhasil mendapat perak, mereka senang banget dan kasih support agar bisa tampil lebih maksimal lagi besoknya.

Setelah itu, saya dapat emas, lalu saya langsung telepon keluarga di rumah. Mereka senang banget, mama sampai nangis.

 

Bagaimana persiapan latihan kamu untuk PON? 

KONI memiliki program untuk semua atlet Jawa Timur. Programnya namanya Puslatda New Normal (PNN). Program ini untuk memusatkan latihan dengan kita ditempatkan di satu tempat tinggal dan satu tempat latihan untuk meminimalkan covid-19.

Jadi, di situ kita hanya berfokus untuk latihan menuju PON Papua. Kita PNN dimulai dari September 2020 sampai kira-kira setahun lebih, jadi kita enggak bisa ke mana-mana, hanya di asrama.

Di Surabaya, kita kedatangan pelatih asing dari Tiongkok. Sebelum ia datang, latihan normal, sehari dua kali, Senin sampai Sabtu. Setelah kedatangan pelatih asing ini, jadwal libur kami tidak menentu. Kami kadang libur per sesi, misalnya, Senin pagi lalu sore latihan, Selasa pagi terus sore latihan, Rabu paginya libur terus Rabu sore latihan kemudian Kamis, Jumat latihan lagi dua kali.

 

Saat kompetisi, kamu tampil bersama Nicho (Nicholaus Karanka Adinugroho). Apa tantangan yang kamu rasakan? 

Sebelumnya kami harusnya tiga orang, tetapi satu teman saya lagi terpanggil pelatnas, jadi tinggal saya dan Nicho.

Saya dan Nicho memang sudah lama juga berduel. Jadi, untuk kekompakan dan chemistry tidak ada masalah. Yang menjadi tantangan bagi kita itu ialah koreografinya yang harus baru lagi. Jadi, mengepaskan timing-nya agak sulit, seperti kapan kita harus maju dan mundur hingga kapan untuk menyerang, itu menurut saya tantangannya.

Kalau mengubah koreografinya tidak cukup lama, hanya butuh waktu dua minggu kita sudah bisa menemukan koreografi baru. Namun, mematangkan koreografinya memakan waktu sekitar dua bulan.

 

Dari banyaknya prestasi yang kamu toreh, mana yang paling berkesan?

Paling berkesan untuk saya ialah kejurnas Wushu 2017 di Jakarta karena saya merasa event itu merupakan titik balik saya untuk bisa sesukses sekarang. Saya sempat pensiun emas pada 2012-2016. Lalu, di 2017, saya bisa mendapatkan emas lagi.

Saat itu memengaruhi mental saya juga sampai mikir apa berhenti wushu saja, ya? Jadi, sempat mikir nyerah saja. Cuma hati kecil saya bilang coba terusin saja. Akhirnya, saya ikut kata hati saya.

Saya mendapat pelajaran dari itu. Saya sempat merasa saya latihan cuma capek saja, tapi enggak menghasilkan apa-apa. Ternyata memang ini kesalahan saya sendiri karena saat saya latihan, tidak pakai hati sehingga tidak mendapat hasil yang maksimal.

 

Selain latihan fisik, persiapan mental juga tak kalah penting untuk tampil seperti penenangan diri sebelum bertanding, apa kamu punya cara khusus untuk menenangkan diri sebelum tampil?

Saya sebut ini proses, dari awal bangun tidur saya harus ngapain, saya siap-siapnya gimana lalu makannya harus seberapa. Lalu, on the way ke venue, saya harus ngapain, waktu sampai ke venue harus ngapain, semua itu sudah saya organisasi dengan baik.

Sebelum pemanasan, saya nomor satu pasti doa dulu, minta bimbingan dari Tuhan. Selain itu, saya biasa pemanasan sambil mendengarkan musik dan juga bernyanyi. Jadi, saya waktu pemanasan enggak peduli orang-orang di sekitar saya. Soalnya nyanyi merupakan salah satu pengekspresian saya.

Saat masuk lapangan, saya biasanya jongkok, lalu saya biasanya ajak kerja sama diri saya sendiri untuk bisa melewati pertandingan tersebut dengan baik.

 

Beban mental dari banyak orang yang berekspektasi lebih dan berharap atlet bisa membawa kemenangan saat kompetisi, apa pernah kamu alami kondisi ini?

Saya juga pernah merasakan ini, merasa mempertahankan sesuatu lebih sulit daripada merebut sesuatu karena bebannya berat. Untuk ini kembali kepada pribadi masing-masing, tergantung gimana caranya kita menyikapi sugesti tersebut. Jadi, kita tidak boleh larut dalam kesenangan saat memenangi sebuah pertandingan sehingga mental kita enggak terbebani.

Pelatih saya selalu bilang kamu memenangi pertandingan, ya kamu juara di hari itu saja, besok itu enggak juara. Besoknya harus move on. Jadi, secara tidak langsung mental kita tidak terbebani. Gimana caranya saya harus bekerja keras dengan latihan yang maksimal agar hasilnya juga nantinya maksimal.

 

Banyak orangtua menjadi figur penting di balik kesuksesan seorang atlet. Bagaimana denganmu?

Dulu, 2013, saya pernah bilang ke ibu saya kalau ini pertandingan terakhir yang akan saya ikuti. Lalu, ibu saya mengatakan, enggak apa-apa jika mau berhenti. Ibu saya sangat mendukung dan memberikan kepercayaannya kepada saya. Jadi, ibu saya akan dukung apa pun keputusan saya.

Waktu itu saya merasa kalah, merasa tidak mendapat hasil maksimal. Namun, kebetulan waktu itu saya bertepatan terpanggil tim daerah. Akhirnya saya konsultasi sama ibu saya, lalu beliau bilang ya sudah ikut saja. Menurutnya, ini juga bisa jadi batu loncatan lagi. Ibu juga tiap hari kasih semangat untuk saya.

Ibu itu segalanya bagi saya. Kalau enggak ada ibu, saya tidak akan menjadi seperti sekarang. Dulu, waktu pertama latihan, saya diantar ibu saya. Beliau menunggu latihan sampai selesai dan menjemput saya lagi. Ibu saya menjadi salah satu orang yang berperan besar dalam proses saya menjadi atlet.

 

Saat ini, bagaimana daya tarik cabor ini di kalangan muda yang kamu lihat?

Anak-anak muda sekarang sangat besar antusiasnya untuk latihan. Kalau dulu mungkin memang belum banyak yang mengetahui wushu, tapi sekarang wushu sudah dikenal dan banyak anak-anak muda juga yang ingin mempelajari bela diri ini.

Selain itu, banyak orangtua juga yang ingin mengikutkan anaknya ke olahraga agar anaknya sehat di samping harapan untuk anaknya menjadi atlet ke depannya.

 

Bicara soal pendidikan, kamu kuliah di jurusan pariwisata. Apa alasannya? 

Jujur, saya dulu bingung mau ngambil apa, tapi karena saya orangnya suka bergaul dan berinteraksi dengan orang jadinya saya mengambil jurusan pariwisata. Selain itu, saya juga hobi travelling, jadi jurusan ini cocok untuk saya.

 

Oh, tapi keluarga kamu berbisnis kuliner, ya. Apa kamu akan terjun ke situ juga? 

Sebenarnya saya ingin membuka usaha restoran sendiri. Untuk menjadi pelatih, masuk ke list juga, tapi di nomor sekian, saya lebih berminat dulu ke bisnis. Saya pernah berjualan aksesori ponsel, cuma sekarang lagi break karena sibuk latihan dan supplier-nya juga ada kendala.

 

Untuk wushu, apa target terdekat kamu sekarang? 

Kalau untuk pertandingan ke depannya, ada Kejurnas Piala Presiden di Surabaya tahun depan. Jadi, saya sedang mempersiapkan juga untuk pertandingan tersebut.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya