Headline

Reformasi di sisi penerimaan negara tetap dilakukan

Fokus

Operasi yang tertunda karena kendala biaya membuat kerusakan katup jantung Windy semakin parah

Nicky Sukses Kembangkan Wirausaha Sosial untuk Disabilitas

Dero Iqbal Mahendra
27/8/2021 06:05
Nicky Sukses Kembangkan Wirausaha Sosial untuk Disabilitas
Penyandang disabilitas sekaligus founder Tenoon Nicky Clara Pratiwi(MI/Francisco Carolio Hutami Gani)

SEKILAS ia tidak tampak berbeda dengan orang normal pada umumnya, dengan karakter periang, casual, dan murah senyum seolah tidak memiliki masalah dalam hidupnya. Meski ‘berbeda’, perbedaan tersebut tidak membuatnya kecil hati apalagi rendah diri, tetapi justru menjadi pelecut semangat untuk terus berprestasi dan berdaya.

Dia ialah Nicky Claraentia Pratiwi, seorang penyandang tunadaksa dengan kaki kiri yang tidak sempurna sejak lahir. Meski memiliki keterbatasan, Nicky tidak berpangku tangan dan menyerah atas keadaan dirinya. Perjuangannya mampu mengantarkannya bekerja di perusahaan multinasional hingga mendapat beasiswa dan mengenyam gelar master di bidang administrasi bisnis dan akhirnya menggeluti sejumlah socialenterprise untuk pemberdayaan kelompok disabilitas.

Nicky menceritakan bahwa kondisi disabilitasnya sudah diperoleh sejak lahir dengan keadaan kaki kiri yang berbeda. Saat ibunya mengandung usia tiba bulan dinyatakan keguguran karena janin yang lemah sehingga dilakukan prosedur kuret dan menyebabkan adanya bagian tubuh yang terbuang dalam proses tersebut. Namun, Tuhan berkehendak lain dan setelah dua minggu janin tersebut tetap tumbuh dan berkembang.

"Ketika saya dilahirkan, keadaan kaki kiri saya agak berbeda dari kaki kanan. Hingga usia satu tahun kaki kiri saya tidak berkembang sehingga ada bagian yang diamputasi agar dapat menggunakan kaki palsu," terang Nicky kepada Media Indonesia, Kamis (19/8).

Meski disabilitas, kedua orangtuanya berperan besar sebagai support system dalam perkembangan Nicky sekaligus menanamkan kepercayaan diri dan semangat juang kepada putrinya agar Nicky tidak minder dengan kondisinya.

"Saya beruntung lahir dari orangtua yang sangat luar biasa yang mengajarkan saya bahwa semua orang memiliki kekurangan. Namun, yang terpenting bagaimana kita dapat menunjukkan kelebihan kita. Orang tua saya mengajarkan bahwa saya (sebetulnya) tidak punya kekurangan dan yang menjadi pembeda individu satu dengan lainnya ialah dari leher ke atas (kepala)," ungkap Nicky.

Nicky tidak disekolahkan di sekolah khusus dan tetap bersekolah di sekolah umum sejak TK hingga SMA. Kedua orangtuanya selalu mengajak berdiskusi dan memberikan arahan kepada Nicky atas persoalan yang ia hadapi di masa sekolah dan pilihan-pilihan yang ia punya untuk masa depannya.

Khususnya sang ayah yang merupakan seorang polisi menanamkan semangat juang dan membesarkan hatinya, bahwa ia tidak memiliki keterbatasan dan harus berusaha maksimal untuk memperoleh impian.

"Ketika kamu jatuh, yang bisa membangunkan kamu ialah diri kamu sendiri. Kamu enggak bisa berharap dengan orang lain. Mindset seperti itu yang membuat saya menjadi seperti sekarang," tuturnya.

Dukungan orangtuanya membuatnya mampu mengatasi momen-momen sulit di masa kecilnya yang muncul karena keadaan disabilitasnya, khususnya terkait perundungan atau bullying. Mulai yang bersifat verbal dengan berbagai panggilan merendahkan seperti kaki boneka, pincang, hingga bersifat fisik seperti menarik kaki palsunya dan dibawa pergi.

 

Mengembangkan kemampuan

Nicky menyadari bahwa arahan orang tuanya untuk mengembangkan kemampuan berpikir akademisnya sejalan dengan apa yang ia temui di sekolah, khususnya saat SMP dan SMA. Saat ia di Santa Ursula, ia tidak mendapatkan momen seseorang dibedakan berdasarkan kondisi fisik. Namun, yang membedakan ialah kemampuan, baik itu akademis maupun skill seseorang. Hal itu yang membuatnya menjadi giat belajar.

Nicky bercerita sejak kecil ia memiliki mimpi besar untuk dapat tampil di TV pada saat kelas satu SD setelah ia melihat di TVRI tayangan Presiden Soeharto disambut salah satu menterinya yang disabilitas karena menggunakan tangan palsu.

Ia menyimpulkan bahwa keterbatasan fisik tidak membatasi seseorang untuk menjabat di pemerintahan dan bahkan bertemu presiden sekalipun karena memiliki kemampuan.

"Saya ingin masuk Kementerian Luar Negeri. Mimpi besar itu kemudian saya pecah menjadi mimpi kecil agar dapat mencapai impian besar tersebut. Dari situ saya belajar keras dan ayah saya mewajibkan membaca tiga majalah: Tempo, National Geographic, dan Bola. Buku seperti Mossad dan buku-buku Pramoedya Ananta Toer jadi bacaan saya saat SMP," kenang Nicky.

Nicky tidak setiap saat harus membeli majalah karena harganya cukup lumayan. Ia terkadang menumpang baca di toko buku atau berkunjung ke Perpustakaan Nasional setiap Sabtu dan Minggu.

Dengan kepercayaan diri dan mentalitas positifnya, Nicky mampu mengatasi berbagai tantangannya hingga kemudian sempat bekerja di media online, dilanjutkan bekerja di perusahaan multinasional hingga mendapatkan beasiswa untuk pendidikan S-2.

Selepas pendidikan masternya, ia kembali bekerja di perusahaan multinasional dan mampu mendapatkan pendapatan hingga dua digit dan berbagai pengalaman ke luar negeri.

 

Dukung disabilitas

Nicky merasa hidupnya sudah sangat baik ketika itu hingga kemudian ibunya menanyakan apakah dirinya ingin mengetahui komunitas disabilitas. Hal itu diakuinya cukup menggelitik nuraninya mengingat ia selama ini membantu ibunya sebagai ketua komunitas kanker dengan menjadi teman bagi pasien yang harus diamputasi karena kanker tulang ataupun diabetes.

"Saya selama ini merasa normal saja. Bahkan dalam pertemanan pun saya tidak memiliki teman yang disabilitas. Bahkan kosakata disabilitas saja ketika itu saya tidak tahu, dan tahunya kata penyandang cacat. Pada 2017, saya mulai mencari tahu melalui internet mengenai komunitas disabilitas," jelas Nicky.

Meski begitu, ia menemukan mayoritas komunitas fokusnya lebih mengedepankan kepada santunan (charity) sehingga tidak sesuai dengan cara berpikirnya yang lebih mendorong bahwa disabilitas harus berdaya. Hingga akhirnya ia menonton wawancara AngkieYudistia di acara Kick Andy tentang social enterprise Thisable dan secara spontan mengirim pesan langsung via Instagram untuk kesempatan bertemu.

Nicky merasa konsep Thisable cocok dengan visinya karena Thisable ingin mengubah teman-teman disabilitas dari objek santunan menjadi subjek yang mampu berdaya. Menjadi berdaya dan berjuang merupakan hal yang selama ini Nicky jalani dalam hidupnya.

"Pada 2017, menjadi momen saya menginjak bumi kembali. Dari kehidupan yang sebetulnya biasa saja tanpa paham akan dunia disabilitas. Saya tersadarkan bahwa banyak sekali teman disabilitas yang tidak mendapatkan kesempatan yang sama seperti saya," terang Nicky.

Setelah bergabung dengan Thisable, Nicky terus mengembangkan sayapnya dalam pengembangan social enterprise. Salah satu yang ia dirikan bersama rekannya Tiwi ialah Tenoon di Makassar, sebuah usaha memberdayakan para penenun di wilayah Indonesia timur dan para penjahit dan pengrajin disabilitas.

"Kita membeli hasil produksi kain mereka dan kita jadikan barang perlengkapan sehari-hari seperti tas, dompet booknote, dan lainnya. Produk kita juga pernah terpilih menjadi official merchandise untuk dibagikan di Perwakilan Dewan Keamanan tidak Tetap PBB di New York. Kita pun banyak pesanan merchandise dari perusahaan," terang Nicky.

Kegiatan usahanya ini cukup berkembang dan memiliki omzet hingga Rp1,5 miliar. Tenoon juga melayani pesanan dari luar negeri, seperti dari Jepang, Malaysia, dan Filipina.

Bisnis Tenoon dijalankan oleh tujuh orang dengan tiga di antaranya disabilitas serta menjalin kerja sama dengan 6 desa penenun dan 7 penjahit disabilitas sebelum masa pandemi.

Salah satu alasan mengapa Tenoon mengambil enam desa binaan karena berkaitan dengan pasokan kain tenun untuk ekspor. Bila hanya memiliki satu desa binaan, pihaknya tidak dapat memenuhi kuantitas kebutuhan produksi sehingga suplai bahan baku dipastikan akan terhambat.

Nicky menuturkan satu kain tenun produksinya bisa memakan waktu hingga 2-3 bulan. Bila musim panen tiba, para penenun berhenti bekerja dan memilih menangani panen. Untuk itu adanya enam desa binaan di Indonesia Timur ini bisa mencukupi kebutuhan pesanan.

“Kalau kita sudah terima orderan kan tidak bisa menunggu. Kita mengambil kainnya dari Makassar, Lombok, Toraja, Kupang, dan Nambire," jelasnya.

Di tengah pandemi, bisnis tenun juga terhambat. Bahkan pada semester dua tahun 2020 usaha Nicky tidak mendapatkan orderan sama sekali.

Ia menegaskan pihaknya tetap berkomitmen untuk membeli kain dari para perajin tenun meski suplainya sudah cukup banyak saat ini.

Saat ini roda perekonomian sudah kembali bergerak. Meski begitu, Nicky bersyukur saat ini roda ekonomi mulai kembali bergerak dan sudah mulai ada ruang untuk merchandise serta adanya sejumlah bantuan dan keringanan untuk usahanya tetap bertahan. Namun, pada saat yang sama, Nicky membenarkan saat ini masih belum ada demand untuk ekspor.

Selain Tenoon, Nicky juga mengembangkan social enterprise lainnya, seperti Berdaya Bareng pada 2020 berupa platform untuk literasi digital bagi kaum disabilitas dan perempuan di Indonesia Timur.

Pada 2021, ia dan rekannya membuat social enterprise lainnya yang juga memberdayakan penjahit disabilitas di Bali dengan memproduksi produk fesyen dengan konsep berkelanjutan.

Fesyen yang ditawarkan ialah Kamu Wear menggunakan bahan-bahan dan pewarna alami yang berkelanjutan. Konsep ini ditujukan untuk para warga negara asing yang berkunjung ke Bali dan peduli dengan isu-isu keberlanjutan.

Terlepas dari capaiannya sebelum aktif di bidang komunitas disabilitas, Nicky merasa apa yang ia capai saat ini sebagai sebuah kepuasan besar baginya.

"Impian kecil saya sebetulnya sudah tercapai saat sebelum saya aktif di kegiatan disabilitas. Namun, achivement dan fulfillment yang saya lakukan merupakan karya saya sendiri saat saya bergerak di kegiatan penyandang disabilitas," pungkasnya. (N-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya