Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
SURAT Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah resmi dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) melalui Putusan Nomor 17P/HUM2021. SKB 3 Menteri ini sebelumnya telah diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Kementerian Agama (Kemenag) pada 3 Februari 2021 yang lalu.
Dalam kaitannya dengan dibatalkannya SKB 3 Menteri oleh MA, hari ini Rabu (19/5), Pusat Studi Wanita UGM dan Law, Gender, and Society FH UGM mengadakan webinar dengan tema “Pro Kontra SKB 3 Menteri Terkait dengan Aturan Seragam: Perempuan dan Keindonesiaan.” Webinar ini juga turut dihadiri oleh Komisioner KOMNAS Perempuan, Kyai Dr. Imam Nahe’i.
Baca juga: Wiranto Arismunandar, Menteri Pendidikan Era Soeharto Tutup Usia
Pembahasan yang diangkat dalam webinar ini fokus pada kebijakan diskriminatif yang masih banyak terjadi di lingkungan sekolah terkait aturan menggunakan jilbab bagi siswi, guru, dosen, dan tenaga pendidik perempuan.
Menurut Kyai Nahe’i, kebijakan-kebijakan seperti ini (yang membawa atau mengusung agama tertentu) berpotensi memojokkan perempuan hingga mengancam kesatuan NKRI.
“Jika sebuah kebijakan hanya mengusung satu nilai, satu norma agama tertentu, maka berpotensi untuk menghancurkan keragaman yang lain, mengkriminalkan perempuan, pembatasan ruang gerak perempuan, kontrol tubuh perempuan, bahkan mengancam kesatuan NKRI,” ujarnya.
Oleh sebab itu, SKB 3 Menteri dianggap sebagai suatu sikap pemerintah untuk merespons kebijakan-kebijakan diskriminatif di lingkungan sekolah. Walaupun demikian, MA membatalkan SKB 3 Menteri tersebut.
Menurut, Mahaarum Kusuma Pertiwi, dari Fakultas Hukum UGM, SKB 3 Menteri ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, diantaranya adalah :
Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 UU 23/2014 (Pemda). Menurut pasal-pasal ini, pendidikan dasar dan menengah adalah kewenangan dari pemerintah daerah, bukan pemerintah pusat.
Pasal 1 angka 1 UU 23/2002 (Definisi Anak). Peserta didik dasar dan menengah berusia dibawah 18 tahun. Sehingga peraturan yang menyangkut anak seharusnya dibuat oleh atau melibatkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Pasal 1 angka 1 dan 2 UU 12/2011 (PPP). Berdasarkan pasal ini, bentuk SKB jadi membingungkan, sebab SKB berbentuk keputusan namun bersifat mengatur.
Pasal 1 angka 1 dan 2, Pasal 3, dan Pasal 12 ayat (1) UU 20/2003 (Sisdiknas). Dalam UU ini, ada penekanan pada keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (keagamaan) dalam pendidikan sehingga bisa jadi muncul anggapan bahwa menggunakan atribut keagamaan juga bagian dari pendidikan.
Walaupun telah dibatalkan, menurut Pertiwi, SKB 3 Menteri ini berisi poin-poin yang baik, mengedepankan toleransi, dalam masyarakat majemuk, dan sesuai dengan Bhinneka Tunggal Ika.
Pihaknya berharap bahwa kedepannya substansi dari SKB 3 Menteri ini bisa dibuatkan wadah yang lebih tepat, di dalam bentuk hukum yang benar sesuai dengan Pasal 12 ayat (4) yaitu dibuat dalam bentuk Peraturan Pemerintah. (OL-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved