Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
EMPAT seniman di sejumlah daerah menempuh cara tersendiri lakukan perubahan dalam mengatasi krisis sosial ekologi melalui kegiatan seni budaya.
Keempat seniman tersebut Cokorda Sawitri di Bali, Slamet Diharjo di Banyuwangi, Jawa Timur, Mila Rosinta di Yogyakarta, dan Iqbal H. Saputra di Belitung, Provinsi Bangka Belitung.
Mereka berbagi cerita tentang kegiatan inspiratif dan perjuangan dalam webinar yang digelar The Samdhana Institute dengan tema “Mengatasi krisis sosial ekologi melalui pendekatan seni budaya dan inklusi sosial,” pada Senin (30/11).
Webinar kedua dari Serial CangKir KoPPI (Berbincang dan Berpikir Kreatif Kelompok Perempuan dan Pemuda Inspiratif) tersebut dibuka Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud Dr. Hilmar Farid, pengantar oleh Wakil Direktur Eksekutif The Samdhana Institute Martua T. Sirait, dan moderator Bunga Manggiasih dari Koalisi Seni Indonesia.
Seniman, sastrawan, dan aktivis perempuan yang banyak memberikan dukungan terhadap pelestarian budaya Bali Cokorda Sawitri atau Cok Sawitri, aktif menyuarakan penyelamatan lingkungan melalui kesenian di Bali, salah satunya menyelamatkan air.
“Orang lupa, salah satu hal yang membuat Bali akan ‘collapse’ itu bukan pariwisata seperti sekarang, yang bikin ‘collapse’ itu nanti air,” katanya.
Sayang, menurut Cok, di Bali orang tidak pernah membicarakan air. Ketika terjadi banjir seperti di Denpasar, kambing hitamnya justru sampah. Padahal program pengelolaan sampah sudah lama dilakukan pemerintah di sana.
Di Kota Denpasar, Bali, kata Cok, pada 2010-an saja rumah tangga sudah memakai air kelas tiga atau kelas C dari sungai. Hal itu menjadi lucu karena air jenis itu yang dipakai masyarakat.
Baca juga : Hidupkan Pemikiran Ki Hadjar Dewantara, Cerdaskan Kehidupan Bangsa
Slamet Diharjo, seniman tari di Banyuwangi, Jawa Timur yang memilih menjadikan lahan sawah warisan dari ibunya menjadi sanggar seni, “Sawah Art Space”. Tempat itu digunakan lulusan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya tersebut sebagai ruang belajar seni budaya bagi anak-anak dan pemuda kampung.
Slamet yang akrab dipanggil “Syamsul” tumbuh di Desa Kemiren yang ditetapkan oleh Gubenur Jawa Timur sebagai Desa Wisata Adat Osing pada 1995. Desa tersebut dihuni masyarakat adat Banyuwangi, suku Osing.
Syamsul memilih mendirikan Sawah Art Space yang semata-mata untuk membentuk komunitas seni dan mengajar anak-anak di desanya berkesenian dengan gratis. Ia beruntung ada sekitar 30 seniman di Banyuwangi yang bersedia ikut dengannya melakukan kesenian tanpa pamrih.
Mila Rosinta Totoatmojo adalah penari profesional pemilik Mila Art Dance di Yogyakarta sejak 2012. Pada 2015 ia membuka Mila Art Dance School yang kini sudah mengajar lebih 3 ribu siswa untuk beragam genre tari.
Yang menarik, Mila membuka workshop khusus tari inklusi untuk kaum difabel. Itu pekerjaan tidak mudah yang membutuhkan persiapan yang matang.
“Saya meyakini siapa pun berhak untuk menari, siapa pun bisa menari, dan siapa pun bisa mengejar mimpinya,” kata lulusan pascasarjana penciptaan seni tari ISI Yogyakarta tersebut.
Iqbal H. Saputra adalah seniman muda yang memilih pulang kampung ke Belitung pada 2018 setelah merantau di Yogyakarta selama 14 tahun. Lulusan pascasarjana di salah satu universitas di Yogya tersebut mendirikan Yayasan Pusat Studi Kebudayaan Belitung.
Iqbal menyatukan seniman lokal dan mengajar anak muda belajar sejarah, sosial, politik, ekonomi dan budaya melalui kegiatan seni-budaya.
“Yang kami perjuangkan adalah kesadaran berpikir,” kata Iqbal.
Bersama kawan-kawannya, Iqbal membuat Ekowisata Kolong Sampan di sebuah lahan hutan yang terlantar. Tempat itu dijadikan semacam laboratorium belajar seni-budaya, politik, dan lainnya. Namun kemudian akibat dampak pariwisata, lahan tersebut menjadi perebutan banyak pihak.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud Hilmar Farid mengatakan kesenian dan kebudayaan secara umum mempunyai peran yang sangat strategis. Pendekatan budaya dan kesenian bukan saja suatu alternatif, tetapi harusnya menjadi ‘mainstream’ atau tenaga utama untuk mengatasi krisis ekologi.
“Saya membayangkan kontribusi dari praktik-praktik yang baik di bidang kesenian dan kebudayaan secara umum, juga punya nilai yang pada masa sekarang justru menjadi andalan kita,” ujarnya.
Sedangkan Wakil Direktur Eksekutif The Samdhana Institute Martua T. Sirait dalam pengantarnya mengatakan krisis sosial ekologi yang ada saat ini masih akan berlanjut. Hal itu menjadi satu tantangan bagi kita semua. Ilmu pengetahuan tidak dapat menjawab semua itu.
“Karena itu kreativitas harus terus dibangun dan diperluas untuk mendapatkan cara-cara cerdas bagi pemulihan krisis sosial dan lingkungan yang akan terus kita hadapi, salah satunya pandemi covid-19 yang kita alami saat ini,” ujarnya. (OL-2)
Penyakit lingkungan di Jakarta masih sangat kompleks, seperti kenakalan remaja, tawur, narkoba, hingga judi online.
Gelandangan: Memahami akar masalah sosial, dampak, dan solusi efektif untuk menciptakan masyarakat inklusif dan berkeadilan. Lihat disini Selengkapnya
DiharapkanĀ hasil kajian peneliti bisa menjadi landasan Pemkot Jakarta Selatan untuk menyelesaikan masalah sosial yang ada.
Urai masalah sosial modern: ketimpangan, kemiskinan, diskriminasi. Temukan solusi inovatif untuk masyarakat inklusif dan sejahtera.
Contoh Masalah Sosial: Kupas tuntas akar masalah sosial, dampak, dan solusi inovatif untuk masyarakat inklusif.
Ketidaksetaraan antara digital dan sosial ini saling berkaitan menyebabkan tingkat inklusi digital yang berbeda dan berpengaruh kepada seluruh sistem kesetaraan sosial.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved