Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sejumlah persoalan terkait tata kelola limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dari fasilitas kesehatan. Kasus-kasus ditemukannya limbah medis dibuang di tempat publik ditengarai lantaran masalah tata kelola, terbatasnya jumlah, serta kapasitas pengolah, hingga lemahnya pengawasan.
“Kami melakukan monitoring sejak awal tahun ini, ada 22 fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) di DKI Jakarta dan sedang berjalan juga di Makassar. Kami melihat penyimpanan,
pengangkutan, pengolahan, hingga penguburannya. Dari setiap tahap, kami temukan masalah,” ungkap Kasatgas Pencegahan KPK Dian Patria dalam diskusi daring, kemarin.
Pada kajian sementara ditemukan persoalan limbah medis dari hulu hingga hilir. Di hulu, penyimpanan limbah medis di fasyankes didapati tidak dipilah secara baik.
Perihal penyimpanan, KPK juga menemukan banyak puskesmas tidak memiliki cold storage untuk menampung sementara. KPK juga menemukan banyak transportasi pengangkut
limbah medis tidak memiliki izin.
Pada tahap pengolahan, KPK menemukan jumlah pengolah limbah medis terbatas. Dian mengatakan hanya enam perusahan pengolah limbah medis yang aktif, yakni lima di Jawa dan satu di Kalimantan.
Adapun rumah sakit yang memiliki fasilitas insinerator untuk mengolah limbah medis hanya 90 RS dari total 2.800 RS di seluruh wilayah. Jumlah itu dinilai tidak sebanding dengan
jumlah fasyankes yang ada dan limbah yang dihasilkan.
Mengutip data KLHK (2018), Dian menambahkan, ada 102 ton limbah medis yang dihasilkan per hari, tetapi hanya 30 ton yang mampu diolah. Dian juga menyoroti adanya potensi
keuangan yang terlibat.
Kajian KPK menemukan RS milik pemerintah di Jakarta membayar biaya pengolahan lebih mahal ketimbang RS swasta meski mengirimnya ke perusahaan pengolah yang sama.
RS pemerintah bisa membayar hingga Rp15 ribu per kilogram, sedangkan RS swasta rata-rata membayar Rp8.000 per kilogram.
Pendiri organisasi lingkungan Nexus 3 Yuyus Ismawati mengatakan penyebab minimnya jasa pengolahan limbah lantaran terbentur aturan Peraturan Menteri LHK Nomor P.56/Menlhk-Setjen/2015. Aturan itu hanya menyebut opsi pengolahan limbah medis melalui metode insinerator (pembakaran). Padahal, kata Yuyun, sudah ada teknologi penguapan
seperti autoclave dan microwave yang dinilai lebih ramah lingkungan. (Dhk/H-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved