Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Ini Kata Pakar Tentang Impostor Syndrome

Atikah Ishmah Winahyu
20/10/2020 18:25
Ini Kata Pakar Tentang Impostor Syndrome
Ilustrasi gim Among Us yang menggunakan istilah impostor.(MI/Indrastuti)

ISTILAH impostor belakangan semakin populer karena gim Among US yang banyak dimainkan oleh generasi milenial. Impostor dalam gim tersebut merupakan pemain yang bertugas menipu, mengacaukan permainan, dan membunuh karakter pemain lainnya secara diam-diam.

Dalam fenomena psikologis, rupanya terdapat sindrom yang dinamakan impostor syndrome atau impostor phenomenon. Psikolog Klinis Universitas Gadjah Mada (UGM) Tri Hayuning Tyas mengatakan, impostor syndrome merupakan kondisi di mana seseorang tidak mampu menerima dan menginternalisasi keberhasilan yang diraih.

Baca juga: 2 Ribu Wisatawan Kunjungi Kepulauan Seribu Akhir Pekan Lalu

Dengan kata lain, orang yang mengalami impostor syndrome selalu mempertanyakan dirinya sendiri atas pencapaian atau prestasi yang telah diraih. Dia merasa kesuksesan yang berhasil diraih merupakan bentuk dari keberuntungan atau kebetulan semata, bukan karena kemampuan intelektual diri.

Dosen Fakultas Psikologi UGM ini menjelaskan, seseorang dengan impostor syndrome tak pernah berhenti meragukan apakah keberhasilan yang diraih merupakan cerminan dari kemampuannya dan orang tersebut memiliki ketakutan kondisinya itu diketahui orang lain dan dianggap sebagai penipu.

“Ada kekhawatiran ketahuan, sebab ia merasa selama ini melakukan penipuan atau berbuat curang. Padahal pencapaian atau prestasi itu nyata karena memang benar-benar mampu atau pintar,” kata Tri dalam pernyataan tertulis, Selasa (20/10).

Kondisi ini berbeda dengan istilah impostor yang berasal dari Bahasa Inggris yang artinya seseorang yang berpura-pura menjadi orang lain dengan tujuan untuk menipu atau melakukan kecurangan. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan keuntungan dari kepura-puraan.

Tri menyebutkan bahwa impostor syndrome tidak masuk dalam klasifikasi gangguan jiwa. Kendati begitu, sindrom ini umum dijumpai dalam kehidupan dan cukup mengganggu, karena jika terus menerus terjadi dapat menimbulkan kecemasan, stres, bahkan depresi.

Baca juga: Sehatkan BPJS Kesehatan dengan Farmakoekonomi

Fenomena impostor ini pertama kali dimunculkan oleh psikolog Rose Clance dan Suzanne Imes pada 1978 silam. Di awal penelitian, diketahui bahwa sindrom ini banyak dijumpai pada wanita cerdas dengan capaian prestasi tinggi. Lalu, penelitian terus berlanjut dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa impostor syndrome tidak hanya pada wanita, tetapi juga ditemukan pada pria.

“Sindrom ini bisa terjadi pada siapa saja, terutama pada orang yang harus menunjukkan performa pencapaian intelektual. Umum dijumpai saat seseorang memulai perjalanan intelektual atau karier baru juga pada orang dengan karakter perfeksionis,” terangnya.

Terdapat sejumlah faktor yang memicu terbentuknya impostor syndrome, salah satunya adalah pola asuh keluarga. Ketika anak tumbuh dengan dalam keluarga yang terlalu mengedepankan suatu pencapaian intelektual dan tidak cukup mengajarkan pada anak tentang bagaimana merespons kesuksesan maupun kegagalan, maka akan menjadi lahan subur bagi impostor syndrome untuk berkembang.

“Akan ada perbandingan antar anak/saudara dan ini menjadi bibit mengembangkan impostor syndrome di mana anak merasa apa yang dilakukan tidak pernah cukup baik,” imbuhnya.

Faktor lain adalah adanya tuntutan atau tekanan dari masyarakat tentang pentingnya kesuksesan yang dapat memicu pemikiran yang keliru tentang bahwa seseorang akan berharga hanya jika ia berhasil dan karenanya tidak berharga ketika gagal. Seseorang dengan impostor syndrome juga merasa tertekan dengan label bahwa dirinya adalah orang yang cerdas sehingga dia harus selalu mencapai ekspektasi tersebut.

Tri menyampaikan, untuk mencegah timbulnya sindrom impostor, kuncinya ada pada upaya menumbuhkembangkan pemahaman atas diri sendiri jika kesempurnaan bukanlah hal yang utama. Namun, yang terpenting adalah untuk melakukan yang terbaik.

“Ini penting untuk ditumbuhkembangkan sejak dini,” tegasnya.

Selanjutnya, yakni dengan mengenali dan menghargai kemampuan diri. Menuliskan hal-hal yang telah berhasil dilakukan dan memberikan apresiasi terhadap diri sendiri sesederhana apapun capaiannya, merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan oleh orang dengan impostor sindrom untuk mulai memutus rantai pikiran yang meragukan kemampuan diri. Cara lain adalah dengan membicarakan perasaan keraguan atas keberhasilan dan ketidakmampuan diri pada mentor atau orang yang dapat dipercaya.

Apabila seseorang mencurigai dirinya mengalami impostor syndrome Tri menyarankan agar berkonsultasi dengan psikolog atau profesional kesehatan mental lainnya. Sebab, fenomena intellectual self-doubt ini dapat meluas pada area fungsi mental lainnya dan dapat memunculkan gangguan mental, misalnya gangguan kecemasan dan depresi.

"Kuatnya pemikiran yang keliru impostor syndrome memerlukan intervensi psikologis yang terstruktur, misalnya dengan terapi kognitif behavioral, untuk memperbaiki kekeliruan dalam berpikir dan merespon lingkungan,” tandasnya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : HUMANIORA
Berita Lainnya