Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
SEBAGIAN besar masyarakat acap kali masih serampangan memperlakukan sampah-sampah elektronik yang berasal dari peralatan elektronik bekas, rusak, atau tak terpakai.
Padahal, limbah semacam ini mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3), seperti merkuri, mangan, timbel, litium, dan kadmium, yang berpotensi mencemari lingkungan jika tak ditangani dengan benar.
Keresahan inilah yang juga menjadi alasan utama Muhammad Rafa Ibnusina Jafar menginisiasi komunitas EwasteRJ, yang rutin melaksanakan aksi pengumpulan sampah elektronik di beberapa kota di Indonesia.
“Komunitas EwasteRJ ini adalah komunitas yang mengumpulkan sampah elektronik skala rumah tangga. Bentuk aksi kami sederhana sih, kami menyediakan wadah khusus sampah elektronik agar orang tidak kebingungan lagi kalau ingin membuang bendabenda tersebut,” papar pemuda yang kini sedang menempuh pendidikan menengah atas di SMA Taruna Nusantara ini, pekan lalu.
Sampah elektronik tersebut kemudian disalurkan kepada mitra mereka, yakni salah satu perusahaan pengolah sampah, khususnya sampah elektronik, yang memang sudah tesertifikasi dan memiliki izin operasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Hal itu dibenarkan Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian LHK, Novrizal Tahar. Menurutnya, Kementerian LHK memiliki aturan yang jelas mengenai pengelolaan sampah, termasuk sampah elektronik.
Intinya, kata Novrizal, sampah elektronik terbagi dua, yakni yang berasal dari industri dan dari rumah tangga. Sampah elektronik yang berasal dari industri harus dikelola dengan tahapan yang diatur sesuai PP No 101 Tahun 2014, yakni harus berbadan hukum dan melakukan pelaporan berkala.
Adapun yang berasal dari rumah tangga digolongkan ke dalam sampah spesifik. Pengumpulan sampah dapat dilakukan oleh perusahaan pengolah limbah mitra-mitra Kementerian LHK dengan mengikuti aturan soal pemilahan dan proses pengangkutan.
Kementerian LHK, kata dia, saat ini terus meningkatkan sistem pengelolaan sampah, khususnya limbah B3. Pendampingan dan pengawasan terus dilakukan. Pihaknya juga memastikan bahwa setiap pengelola limbah B3 memiliki izin dan bermitra dengan Kementerian LHK.
“Jadi, setiap komunitas atau relawan yang mengumpulkan sampah elektronik juga harus menyalurkan pada perusahaan pengelola yang berizin dan mitra Kementerian LHK,” ujarnya.
Menurut cerita Rafa, ia berkenalan dengan wacana sampah elektronik ketika masih duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar. Saat itu ia mendapat tugas dari gurunya untuk meriset soal pencemaran lingkungan, khususnya pengolahan sampah elektronik (e-waste).
Berangkat dari riset tersebut, ia kemudian mendapatkan kesempatan berkunjung ke beberapa produsen elektronik untuk belajar tentang pengolah limbah elektronik hingga akhirnya berhasil merampungkan buku pertamanya yang berjudul E-Waste: Sampah Elektronik.
“Setelah proyek dari sekolah selesai, kan enggak mungkin berhenti di situ. Jadi saya melakukan riset tambahan sendiri ditemenin mama. Kita berkunjung ke tempat-tempat lain, akhirnya jadi buku e-waste pertamaku,” kenang Rafa.
Dari riset tersebut, Rafa sempat terkejut saat mengetahui rata-rata masyarakat Indonesia ternyata memiliki 80 perangkat elektronik yang berpotensi menjadi limbah elektronik baru.
“Aku pernah menyurvei satu rumah di Indonesia itu rata-rata memiliki 80 perangkat elektronik, dari AC, lampu, laptop, telepon genggam, hingga komputer. Jadi bayangin aja 80 perangkat itu baru satu rumah, bagaimana kalau dikali semua rumah yang ada di Indonesia?” jelas Duta Aksi dan Suara Orang Muda SDGs 2017, Save The Childern, dan YNVAC tersebut.
Sebagai wujud kontribusinya terhadap masalah sampah elektronik tersebut, EwasteRJ yang ia dirikan pada 2016 kemudian mulai meluncurkan program Ewaste Dropzone sebagai bentuk kampanye untuk menyosialisasikan bagaimana cara yang tepat untuk memperlakukan sampah elektronik kepada masyarakat.
12 titik
Saat ini, Ewaste Dropzone sudah ada di 21 titik di 12 kabupaten dan kota, di antaranya Yogyakarta, Manado, Makasar, Surabaya, Salatiga, Banyuwangi, Semarang, Bandung, dan kawasan Jabodetabek.
Dari Ewaste Dropzone yang EwasteRJ sebar di 12 kabupaten/kota ini setiap bulannya, menurut Rafa, ia dapat mengumpulkan rata-rata 500-600 kilogram sampah elektronik yang selanjutnya akan mereka salurkan kepada perusahaan pendaur ulang limbah elektronik mitra komunitas EwasteRJ.
“Tiap bulan kami kumpulkan sampah-sampah e-waste dari dropbox tadi dan ada juga yang dari agen di daerah-daerah. Sampah-sampah biasanya kita kumpulin di gudang, baru kita pilah berdasarkan jenis materialnya sebelum kita berikan ke pihak pengolahnya,” ujar Rafa.
“Biasanya mereka yang jemput dengan truk, karena setiap bulan pasti gudang penuh. Jumlahnya bisa mencapai 500 sampai 600 kilogram sampah yang terkumpul di gudang itu,” imbuh pemuda yang pernah menjadi juara umum World Creativity Forum di Korea Selatan pada 2017 ini.
Setidaknya ada enam kategori sampah elektronik yang menurut Rafa sering diserahkan oleh donatur kepada EwasteRJ, yaitu sampah elektronik peralatan rumah tangga, peralatan komunikasi dan IT, peralatan hiburan elektronik (seperti kamera, radio, dan televisi), pencahayaan, peralatan kelistrikan, dan peralatan olahraga.
Terkait kegiatannya ini, Rafa juga sering mendapatkan komplain tentang masalah keamanan dari pengolahan e-waste yang notabene masuk sebagai limbah kategori B3. Saat menghadapi keluhan seperti itu, ia berusaha menjelaskan bahwa inisiasi gerakannya tidak diorientasikan untuk mendaur ulang secara langsung, tapi lebih ke menyosialisasikan kepada masyarakat cara memperlakukan limbah elektronik serta pengumpulannya.
“Nah untuk pengolahan ini kita bekerja sama dengan pihak ketiga, yaitu perusahaan pengelola sampah elektronik yang tesertifikasi dan memiliki izin operasi dari Kementerian LHK untuk mendaur ulang sampah elektronik,” jelas Rafa.
Novirzal pun mengakui perusahaan-perusahaan pengelola yang berizin dipastikan memiliki dan mendapatkan arahan mengenai tata cara, mekanisme, dan aturan soal pengolahan sampahnya.
Pada intinya, diperlukan pengelolaan limbah elektronik yang berwawasan lingkungan, dari pengumpulan hingga pengelolaan akhir. Hal itu yang harus terus dijamin untuk dipenuhi oleh setiap pihak yang menghasilkan dan mengumpulkan sampah elektronik.
Kementerian LHK juga terus mengumpulkan data dan mengawasi masyarakat yang melakukan pengumpulan dan pengelolaan sampah elektronik sisa rumah tangga. Dengan begitu, pengawasan dan pendataan limbah B3 bisa lebih maksimal. (Pro/M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved