Headline

Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.

Epilepsi bukanlah Aib

MI/ENI KARTINAH
11/2/2015 00:00
 Epilepsi bukanlah Aib
(THINKSTOCK)
SEBAGIAN orang masih menilai epilepsi atau ayan sebagai kelainan yang membuat penderitanya terkesan aneh bahkan memalukan. Tidak jarang, stigma itu membuat penderita epilepsi minder.

Namun, tidak demikian bagi Aska Permadi, 30. Meski mengidap gangguan itu, ia berhasil menyelesaikan studinya hingga meraih gelar magister di bidang psikologi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

"Saya pertama kali mengalami gejala epilepsi pada 1997. Saat itu saya kejang dan tidak ingat apa-apa, setelah sadarkan diri tahu-tahu sudah ada di rumah sakit. Selama 10 tahun, saya bisa kena serangan 2-3 hari tiap minggu. Sampai pada 2007, saya menjalani operasi di otak kiri.

Sejak itu, tidak pernah kambuh lagi. Sekarang, saya masih rutin mengonsumsi obat, tapi hanya satu jenis saja," tuturnya saat hadir pada seminar bertajuk Unmask Epilepsy di Jakarta, akhir Januari lalu.

Aska yang bekerja sebagai analis perilaku konsumen pada sebuah perusahaan swasta itu juga aktif di Yayasan Epilepsi Indonesia (YEI). Ia kerap tampil membawakan makalah mengenai epilepsi di berbagai forum, baik nasional ataupun internasional.

"Epilepsi bukanlah halangan untuk berprestasi," tegasnya dalam acara yang digelar YEI bersama perusahaan farmasi PT Abbott Indonesia itu.

Acara tersebut digelar untuk menyambut peringatan Hari Epilepsi Internasional yang diperingati tiap Senin pertama Februari.

Menurut Ketua YEI Irawaty Hawari, tahun ini merupakan pertama kalinya peringatan itu digelar. Pemrakarsanya ialah The International Bureau for Epilepsy dan The International League Against Epilepsy.

Di Indonesia, menurut Irawaty, tujuan peringatan antara lain meluruskan persepsi keliru tentang epilepsi.

"Masih adanya stigma dan mitos yang berkembang di masyarakat membuat ODE (orang dengan epilepsi) dikucilkan, dikeluarkan dari sekolah, tempat kerja, dan terhambat dalam berumah tangga. Hal itu membuat mereka merasa tertekan dan depresi. Karenanya, banyak keluarga dari ODE menutup-nutupi keadaan sehingga membuat penanganan tidak optimal," jelas Irawaty yang seorang neurolog itu.

Ia menegaskan epilepsi bukanlah penyakit menular dan sejatinya sama dengan penyakit kronis lain seperti diabetes atau hipertensi. "Dengan pengobatan yang tepat, gejala kekambuhan epilepsi bisa dikontrol," katanya.

Hal senada juga diungkapkan neurolog dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Fitri Octaviana Sumantri. "Masih banyak yang beranggapan epilepsi adalah penyakit kutukan, kesambet setan, dan menjadi aib. Akhirnya, keluarga menutup-nutupi. Padahal, epilepsi harus segera ditangani supaya tidak menjadi penyakit seumur hidup," ujarnya.

Ia menjelaskan, dengan pengobatan yang benar, epilepsi yang terjadi pada masa anak-anak bisa sembuh total. Adapun epilepsi yang baru muncul saat dewasa umumnya akan menjadi gangguan menetap. Namun, itu bisa dikontrol dengan pengobatan seumur hidup.

Terkait dengan penyebab, Fitri menerangkan sering kali penyebab epilepsi sulit ditentukan. Karena itu, diagnosis harus ditegakkan dengan hati-hati setelah melalui anamnesis yang rinci. Beberapa kondisi yang bisa menimbulkan epilepsi, antara lain, gangguan perkembangan otak yang terjadi semasa kehamilan. "Karena itu, perawatan kehamilan termasuk pemenuhan gizi sangat penting."

Di samping itu, lanjutnya, keadaan-keadaan lain yang juga bisa menyebabkan epilepsi antara lain trauma kepala, perdarahan, tumor, infeksi otak atau infeksi selaput otak, faktor genetik, serta gangguan metabolisme.

Pertolongan pertama
Pada kesempatan sama, neurolog anak RSCM Irawan Mangunatmadja menjelaskan kasus epilepsi pada anak. Epilepsi, ujarnya, ditandai dengan gejala utama berupa kejang berulang. Gejala itu muncul akibat cetusan listrik berlebihan pada otak.

"Tidak semua kejang yang dialami anak adalah indikasi epilepsi. Gejala epilepsi adalah kejang yang berulang. Jadi, kejang yang terjadi berulang pada bagian yang sama atau jenis kejangnya sama," paparnya.

Anak mungkin menderita epilepsi bila mengalami kejang sebanyak dua kali atau lebih dengan interval antarkejadian kejang lebih dari 24 jam.

Pertolongan pertama yang bisa diberikan pada anak kejang ialah melonggarkan pakaiannya, menidurkan dengan posisi miring supaya ketika muntah tidak masuk ke saluran napas, berikan obat penghenti kejang bila memiliki, dan temani sampai anak sadar.

"Kalau kejang jangan masukkan benda apa pun ke mulut anak. Benda yang dimasukkan ke mulut anak bisa menutup saluran napasnya. Lidah tergigit masih bisa diobati, tapi kalau napasnya habis bisa fatal. Lagi pula, kasus lidah tergigit saat kejang umumnya hanya terjadi pada anak yang juga mengalami retardasi mental. Saat kejang, biarkan saja hingga kejangnya selesai, jangan diikat atau dipeluk," terangnya.

Irawan menambahkan kecenderungan untuk epilepsi bisa dideteksi dari bayi baru lahir, yakni bila bayi tersebut memiliki tanda lahir berupa bercak cokelat di kulitnya lebih dari enam buah dengan diameter 1-2 cm, amat mungkin ia akan menderita epilepsi.

"Bercak cokelat itu tanda kelainan genetik. Karenanya, bila bayi tersebut mengalami kejang di kemudian hari, sebaiknya langsung diperiksakan ke dokter," sarannya.

Ia menegaskan epilepsi pada anak bisa sembuh dengan pengobatan yang tepat. "Pengobatan dilakukan dengan memberikan obat antiepilepsi pada anak selama dua tahun. Orangtua harus mematuhi dan tidak sembarangan mengganti obat," pungkasnya.  (*/H-1)

[email protected]



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya