Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
GARIS cakrawala mulai merona kemerahan seiring dengan terbitnya matahari dari sisi timur Bukit Matantimali, Desa Wayu, Kabupaten Sigi, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Sekelompok penari ritual Tampilangi dari suku lokal bernama Da’a tengah bersiap menyambut gerhana matahari total, Rabu (9/3).
Tarian ritual sekelompok suku Da’a tidak sendirian. Mereka ditemani tarian ritual dan mantra dari Toraja (tari Manimbong) serta Kalimantan (tari Topeng Hudog) yang sengaja didatangkan penyelenggara Sigi Sacred Arts Festival Sulawesi, Franki Raden.
Lokasi di lapangan yang biasa dipakai untuk olahraga paralayang ini sudah sejak dua hari sebelumnya ramai karena dijadikan tempat bermukim para pengunjung dengan tenda-tenda kecil. Mereka ialah penonton dan peserta festival.
Suara didgerido (alat tiup Australia), lalofe (suling bambu khas Palu), dan beberapa bunyian ritmis dari alat musik perkusif suku Da’a bersatu padu menyelimuti bukit di Desa Wayu dan membuat suasana semakin mistis dan khusyuk.
Para penari ritual mulai melakukan aksi dengan irama musik itu. Mantra-mantra pun mulai dilantunkan. Saat mencapai gerhana matahari total, pemandangan beranjak gelap dengan keindahan rona warna kemerahan di garis cakrawala. Suhu pun turun drastis dari 30 menjadi 25 derajat celsius. Gegap gempita dan teriakan histeris rasa syukur dan takjub akan keindahan alam semesta dalam waktu tak sampai 3 menit ini memberikan kenangan tersendiri.
Mereka semua berada di dua lokasi yang tidak berdekatan. Para pemusik di panggung amphitheater (bawah bukit yang berlatar gunung dan laut) dan penari ritual di atasnya bersamaan dengan ratusan orang tengah mengamati proses gerhana matahari yang dimulai sejak kontak pertama pukul 07.27 Wita dengan kacamata khusus.
“Sekarang ini seni sakral hampir punah di setiap daerah. Hal ini bisa menjadi bencana bagi kita. Saya sengaja buat festival sakral gerhana ini di tempat yang masih memiliki kegiatan ritual untuk gerhana,” ungkap Franki kepada Media Indonesia di hari yang sama.
Festival gerhana
Delapan musikus juga didatangkan dari berbagai negara, seperti Senegal, Belanda, Korea, Australia, dan Indonesia. Mereka mementaskan karya-karya dalam format yang unik dan berbeda. “Saya ingin memosisikan budaya Indonesia dalam konteks global. Maka dari itu, saya undang musisi luar negeri dan saling berkolaborasi dengan kebudayaan lokal,” sambung Franki.
Mereka membawa alat tradisi masing-masing dari negara mereka. Misalnya, Australia dengan alat tiup didgerido. Lalu ada seorang flutist perempuan kelahiran Meksiko yang menetap di Belanda dan mendalami alat tiup bambu flute dari India, bansuri.
Perempuan kelahiran 13 Oktober 1979 ini tidak tampil sendiri. Ia bersama komposer dan pianis asal Indonesia yang menetap di Belanda, Sinta Wulur, menamakan diri mereka Taradhin. Saat berbincang, ia mengatakan kekaguman yang luar biasa dengan pengalamannya terlibat di festival sakral seperti ini. “Saya merasa beruntung sekali bisa bermain dengan musisi lokal dan mengiringi penari suku lokal saat gerhana datang,” ungkapnya haru.
Franki telah mempersiapkan helatan itu sejak tiga bulan lalu. Warga lokal pun dilibatkan. Sebuah komunitas seniman lokal Topo Da’a mempersiapkan semua kebutuhan acara. Selain itu, ia didukung berbagai elemen dari Kota Toraja, Kalimantan, Makassar, dan Palu.
“Ini festival perdana di Desa Wayu. Sejak sebulan lalu masyarakat sudah bergerak membuat amphitheater dan pagar-pagar serta keamanan. Kami merasa senang masih ada yang peduli dengan seni tradisi ritual suku Da’a,” ungkap ketua komunitas Topo Da’a, Dacu N Rampa, 34, dalam kesempatan yang sama. (Fik/M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved