Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
SEBAGIAN media massa di Indonesia cenderung belum sensitif gender. Itu terlihat dari pemberitaan media yang masih bias gender, khususnya terkait konten yang menampilkan representasi perempuan.
Demikian diutarakan Direktur Pemberitaan Media Indonesia Usman Kansong pada seminar Jurnalisme Sensitif Gender yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), di Jakarta, Selasa (8/7).
Usman menjelaskan hasil riset Komnas Perempuan atas konten 10 media cetak edisi Januari-Juni 2015 menyebutkan banyak media mengabaikan kode etik dalam pemberitaan tentang kekerasan seksual pada perempuan.
Pelanggaran kode etik meliputi pengungkapan identitas korban, pencam puradukan fakta dan opini, pengungkapkan identitas pelaku anak, serta penyajian pemberitaan dengan informasi cabul dan sadis.
Selain itu, beberapa koran lokal dan kriminal sering memberitakan kasus pemerkosaan perempuan secara cabul dan sadis.
Itu ditandai dengan pemilihan kosakata berorientasi seksual, seperti ‘dipaksa melayani nafsu’, ‘bertubuh molek’, dan ‘menggagahi’. “Kasus pemerkosaan ditulis vulgar, seolah-olah itu suatu hiburan,’’ kata Usman.
Bahkan, perempuan sering digambarkan sebagai sosok yang seolah ikut andil sehingga kasus itu terjadi, bukan murni sebagai korban kejahatan kaum laki-laki. Pada media massa mainstream, pelanggaran kode etik dan penggambaran memang tidak sevulgar koran daerah atau kriminal. Namun, pada iklan dan citra pemberitaan, kondisi perempuan masih sebagai komoditas, dengan visualisasi dan identifikasi tubuh seperti molek, seronok, dan seksi.
Karena itu, Usman menyimpulkan ada dua penyebab belum sensitifnya media massa atas masalah gender, yaitu belum sadarnya wartawan pada gender serta media sebagai institusi ekonomi yang terpaksa mengikuti selera pasar. Bentuk selera pasar Berkenaan dengan masalah kesadaran, Usman menyatakan solusinya ialah dengan pengembangan kesadaran gender pada wartawan melalui pelatihan. Adapun terkait media sebagai industri, media harus bisa membentuk selera pasar sendiri.
Dia mencontohkan dulu orang memandang sebelah mata pembentukan stasiun televisi berita, sebab selera pasar Indonesia merupakan acara hiburan, bukan berita.
Namun, setelah belasan tahun, Metro TV bisa membentuk selera menonton yang baru. Bahkan pengiklan mengikuti gaya dari selera televisi berita pertama di Indonesia itu.
Senada dengan itu, Deputi Partisipasi Masyarakat Kementerian PP-PA Agustina Emi menambahkan, pemberitaan yang tidak sensitif gender seolah-olah semakin mengecilkan peran perempuan. “Posisi perempuan semakin dikerdilkan di masyarakat akibat pemberitaan diskriminatif,’’ sesalnya.
Selain menolak pemberitaan yang diskriminatif, dia meminta media semakin banyak memberitakan perempuan yang sukses. Hal itu dapat meningkatkan percaya diri perempuan Indonesia untuk berkembang. (H-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved