Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Iben Yuzenho Ismarson Menikmati dan Merawat Alam

Bagus Pradana
18/6/2020 00:55
Iben Yuzenho Ismarson Menikmati dan Merawat Alam
Iben Yuzenho Ismarson(Dok SEBUMI.ID)

KEGIATAN berwisata kini semakin digandrungi masyarakat, terutama kaum muda. Berbagai kegiatan wisata lazim mereka lakukan, entah sekadar untuk berekreasi melepas penat ataupun menikmati pemandangan eksotis untuk berswafoto.

Namun, wisata sesungguhnya merupakan pedang bermata dua. Karena saat orang berwisata, mereka memproduksi cukup banyak emisi yang mengancam kelestarian alam. Paradoks ini yang kemudian melahirkan konsep ekowisata, yang memiliki keunggulan-keunggulan jika dibandingkan dengan jenis wisata pada umumnya.

Ekowisata atau yang juga dikenal dengan sebutan ecotourism merupakan konsep wisata yang berwawasan lingkungan. Kegiatan ini mengutamakan aspek konservasi alam, pemberdayaan sosial, serta pembelajaran berbasis lingkungan hidup.

Konsep ekowisata ini jugalah yang belakangan mengilhami Iben Yuzenho Ismarson untuk menggagas kegiatan ekowisata yang fokus pada pengembangan wisata minat khusus, di kawasan taman nasional, yang ia beri nama Sebumi.id.

Kepada Media Indonesia, pekan lalu, Iben bercerita tentang seluk beluk Sebumi, platform wisata yang ia dirikan lima tahun silam. 

“Abang saya almarhum kan dulu ialah polisi hutan. Jadi, dia biasa pindah dari satu taman nasional ke taman nasional yang lain, nah kecintaan saya terhadap alam ini juga berawal dari situ,” papar Iben membuka obrolan.

Iben bercerita, Sebumi ini dulunya ialah nama koperasi yang ingin didirikan oleh almarhum ayahnya. Namun, belum sempat berdiri sang ayah keburu meninggal. Usaha ini kemudian dilanjutin sang kakak (yang kini juga sudah almarhum). Bahkan, dia sudah bikin legalitas perusahaan dengan nama Sebumi Berbagi.

“Dari situ saya lanjutkan dengan konsep kewirausahaan sosial, yang fokusnya ialah memberikan edukasi terkait lingkungan hidup melalui kegiatan wisata konservasi atau ekowisata,” jelas Iben. 

Fokus utama Sebumi, kata dia, memandu wisata di kawasan taman nasional. Dalam kegiatan ini, wisatawan tak hanya disuguhkan pemandangan yang asri. Namun, mereka juga dapat berinteraksi secara langsung dengan flora dan fauna asli, serta mengenal cara hidupnya.

Iben menjelaskan alasan mengapa ia memilih taman nasional sebagai target utama untuk ekowisata yang ia kembangkan. “Taman Nasional di Indonesia itu kan ada 53, belum lagi taman wisata alamnya, itu ada ratusan sekitar 180 kalau tidak salah. Itu potensi yang luar biasa banyaknya dan hampir semuanya belum tergarap.”

Aktivis lingkungan yang pernah mengikuti pelatihan Climate Change dari British Council pada 2009 ini menyatakan Sebumi baru fokus di lima taman nasional di Indonesia. Untuk atraksi mendaki, mereka fokus di Taman Nasional Gunung Semeru dan Gunung Rinjani. Adapun wisata hutan, difokuskan di Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan.

“Di sana merupakan habitat orang utan terbesar di Indonesia. Lalu untuk atraksi lautnya, kita biasanya diadakan di Taman Nasional Bali Barat,” ujarnya.

Dalam setiap aktivitasnya, pihak Sebumi berkomitmen meminimalisasi dampak dari kegiatan mereka dengan menerapkan prinsip low impact travel agar tidak merusak keanekaragaman hayati yang ada di kawasan konservasi yang mereka kunjungi.

“Hal paling utama, kita juga terlibat dalam proyek konservasi yang ada di sana. Itu yang membedakan kita dengan wisata jenis lain,” jelas pemuda yang sebelumnya sempat memelopori konsep pendakian minim sampah di Gunung Semeru bersama Kelompok Kebersihan Lingkungan di Desa Ranupani.

“Kalau kita traveling kan kita pasti kita akan menghasilkan sampah, polusi, dan lain-lain, nah sebenarnya itu yang kita minimalisasi dampaknya,” sambung Iben.

Sebagai wujud implementasi dari komitmennya menjaga lingkungan, Sebumi juga memiliki kebiasaan rutin, yaitu menghitung emisi karbon yang mereka produksi dalam setiap kunjungan wisatanya. Dari hitung-hitungan ini kemudian akan mereka kompensasi dengan penanaman sejumlah pohon di beberapa titik yang telah mereka tentukan.

“Tiap tahun kita juga hitung nih ada berapa traveler yang kita dampingi, dan berapa banyak emisi karbon yang kita hasilkan dari traveling kita selama satu tahun. Karena kan kita traveling naik pesawat, naik kereta, naik mobil. Nah, kita hitung emisi karbon yang keluar dari kegiatan itu berapa banya. Kemudian kompensasinya ialah dari Sebumi akan menanam beberapa pohon sesuai hasil konversi hitungannya. Jadi, itu cara kami meminimalisasi dampak yang ditimbulkan dari wisata yang kami lakukan,” tukas alumnus Institut Pertanian Bogor ini.


Potensi wisata

Ibnen mengatakan banyak operator yang mengusung format ekowisata. Namun, standar yang diterapkan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ekowisata yang mengedepankan sustainabillity (keberlanjutan) dan kelestarian alam.

Menurut Iben, kegiatan wisata di Indonesia trennya meningkat. Kontribusinya ke GDP Nasional juga cukup besar, kurang lebih di atas 10 %. Namun, yang dia sayangkan, saat ini kegiatan itu masih didominasi oleh wisata mainstream.

Kalaupun mengusung ekowisata, sebenarnya tidak murni ekowisata. “Itulah mengapa Sebumi masuk, kita ingin ngasih standar yang benar tentang ekowisata di Indonesia itu harusnya gimana,” papar pemuda kelahiran Cimahi, 4 September 1980 ini.

Melalui Sebumi, Iben bercita-cita menaikkan standar ekowisata di Indonesia sehingga lebih banyak yang tertarik, termasuk turis mancanegara. Iben optimistis, ekowisata merupakan masa depan pariwisata di Indonesia.

“Kita punya potensi sangat besar sebenarnya, bisa dibilang 80% wisata mainstream di Indonesia itu ialah wisata alam, tapi belum dikelola secara ekowisata yang benar. Supaya potensi itu sustainable, ya harus diubah pola wisatanya. Kalau destinasinya rusak, ya siapa yang mau dateng ke sana kan,” ungkap Iben. (M-4)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya