Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Hari Ini Teater Koma Genap Berusia 39 Tahun

Antara
01/3/2016 12:32
Hari Ini Teater Koma Genap Berusia 39 Tahun
(Antara/Muhammad Iqbal)

TEATER Koma genap berusia 39 tahun hari ini. Tentu bukan usia yang muda dan mudah bagi kelompok teater yang terus berusaha menghadirkan lakon dari panggung ke panggung ini. Teater Koma kerap mengkritik kondisi sosial politik di Tanah Air dalam setiap pementasannya, membuat mereka kerap kali harus menghadapi tindakan pencekalan oleh pihak berwenang pada masa Orde Baru.

Beberapa pertunjukan teater yang didirikan di Jakarta pada 1 Maret 1977 ini pernah dilarang, termasuk di antaranya lakon yang berjudul Suksesi, Sampek Engtay, Opera Kecoa, dan Maaf. Maaf .Maaf. Namun itu tak menyurutkan semangat para pegiat seni panggung tersebut. Teater Koma juga tetap berkibar meski gelombang pasang surut pendanaan sempat menerpa.

"Kami memiliki anggota yang setia, juga penonton yang setia," kata Nano Riantiarno, salah satu pendiri Teater Koma, tentang faktor kunci yang membuat teater itu bisa bertahan hingga kini.

"Kami melihat kebutuhan masyarakat, apa yang harus dilihat oleh masyarakat," kata pria yang pernah mengenyam pendidikan di Akademi Teater Nasional Indonesia atau ATNI Jakarta dan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta ini menambahkan.

Teater Koma dibentuk oleh 12 pekerja teater yang disebut sebagai angkatan pendiri. Mereka adalah Nano Riantiarno, Ratna Riantarno, Rima Melati, Rudjito, Jajang Pamontjak, Titi Qadarsih, Syaeful Anwar, serta Gini Goenarwan, Jimi B. Ardi, Otong Lenon, Zaenal Bungsu, dan Agung Dauhanadalah.

Hingga usia 39 tahun, Teater Koma masih menjadi kelompok teater yang disegani di Tanah Air. Setiap pentasnya selalu dinantikan dan menyedot perhatian masyarakat pecinta seni.

Bergabung dengan kelompok teater tersebut bukan hal mudah bagi seorang pekerja seni. Teater itu menyeleksi dengan ketat para calon pemainnya, lalu memberlakukan masa percobaan selama enam bulan. Para pemain Koma juga wajib bisa menyanyi.

"Di sini ada tujuh orang anak dari pemain, itu regenerasinya. Memang susah masuk Teater Koma, tetapi kalau belum diterima jadi pemain, bisa jadi kru dulu. Mental harus kuat," kata Nano, menjelaskan.

Tetap Koma Nano dan istrinya Ratna N Riantiarno hingga kini terus melanjutkan perjalanan Teater Koma. Latihan yang sebelumnya dilakukan di rumah orang tua Ratna, sejak tahun 1995 dialihkan ke rumah pasangan itu. Rumah Nano dan Ratna di kawasan Bintaro tidak pernah sepi. Di sana semua lakon Teater Koma dicipta dan digarap.

Bahkan perpustakaan milik Nano menjadi tempat penciptaan seluruh lakon dari Teater Koma. Ribuan buku yang berjejer rapi dan diatur sesuai kategori menjadi saksi lahirnya naskah cerita-cerita Teater Koma.

Nano, yang pernah bekerja bersama Teguh Karya dan ikut membentuk Teater Populer pada tahun 1968, menulis sendiri sebagian besar naskah lakon yang akan ditampilkan Teater Koma serta merangkap menjadi sutradaranya.

Ia mengemukakan dirinya menulis lakon-lakon Koma di satu komputer tanpa koneksi internet yang tak boleh disentuh oleh siapapun di ruang perpustakaan yang penuh dengan buku serta jejeran piagam penghargaan dan foto-foto keluarga Nano.

"Tidak ada yang boleh otak atik karena naskah saya di sana semua," ungkap Nano, yang menyimpan rapi semua lembaran naskah di ruangan khusus dokumentasi sejak lakon pertama Teater Koma.

Di antara naskah-naskah itu, ada yang membuat dia harus menghadapi interogasi, pencekalan dan pelarangan serta ancaman bom ketika akan dipentaskan. Tapi Nano dan Teater Koma tidak pernah gentar menghadapi segala tantangan tersebut.

Nano mengatakan bahwa persoalan di Indonesia terlalu banyak dan itu yang membuat lakon-lakon Teater Koma berdurasi minimal hingga tiga jam. "Saya dari dulu ingin bikin pertunjukan dua jam saja, tetapi tidak pernah bisa, karena persoalan banyak banget," ujar pria kelahiran Cirebon, Jawa Barat, 6 Juni 1949 itu.

Bagi Nano, yang juga seorang novelis, teater adalah ilmu pengetahuan. Lewat teater pula, kata dia, orang bisa mempelajari sejarah manusia. "Orang kalau masuk teater sangat serius. Saya 50 tahun di teater enggak kemana-mana, pernah sutradarai film tapi karena teater penting jadi saya tinggalkan. Padahal teater tidak cukup untuk hidup," ujar pensiunan wartawan dan pemimpin redaksi majalah Matra itu.

Karena alasan itulah, seniman yang meraih sejumlah penghargaan itu tetap konsisten di teater. Salah satu karya skenarionya, yakni "Jakarta Jakarta" meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia di Ujung Pandang pada tahun 1978. Ia berharap pemerintah melihat teater sebagai sebuah kesungguhan.

"Kami juga tengah memperjuangkan agar teater masuk dalam kurikulum di sekolah-sekolah dan berharap teater semakin disukai oleh banyak orang di Indonesia," tutur aktor yang juga dikenal sebagai penulis, sutradara, dan wartawan ini.

"Semoga di usia 39 tahun ini Teater Koma tetap menjadi koma sehingga masih ada tahun-tahun berikutnya," kata Ratna Riantiarno, berfilosofi.(X-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Victor Nababan
Berita Lainnya