Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
BAGI Indri Suwarti, hari Selasa (10/12/2019) merupakan hari yang dinantikan. Perjuangan selama hampir empat tahun yang penuh liku, akhirnya mengantarkan dirinya meraih gelar sarjana dari Fakultas Ilmu Budaya jurusan Pendidikan dan Sastra Indonesia, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah. Indri menjadi salah satu mahasiswa yang meraih predikat cumlaude pada wisuda sarjana ke-135.
Kalau dirunut ke belakang, Indri, kelahiran 19 Juli 1997 tersebut, sesungguhnya tidak memiliki cita-cita untuk kuliah. Ia memaklumi kondisi keluarganya. Ayahnya, Natun, hanya seorang kuli angkut dengan penghasilan tidak lebih dari Rp50 ribu setiap harinya. Sedangkan ibunya, Toinah, merupakan ibu rumah tangga biasa yang kerap sakit-sakitan.
"Makanya, saya memilih untuk sekolah ke SMK Negeri 3 Purwokerto jurusan Perhotelan. Harapannya, kalau sudah lulus, saya bisa mencari kerja di hotel-hotel di Purwokerto," kata Indri yang ditemui sebelum pelaksanaan wisuda.Selama sekolah di SMK, prestasi Indri ternyata bagus, bahkan selalu ranking satu. Oleh gurunya, dia diminta untuk mendaftarkan diri
melalui jalur bidik misi.
"Ada beberapa guru yang mendorong agar saya ikut seleksi masuk perguruan tinggi melalui bidik misi. Waktu itu, para guru bilang, sayang kalau tidak ikut, karena dengan bidik misi, setiap bulannya ada beasiswa hidup dari pemerintah. Setelah berunding dengan orang tua, bismillah, saya ikut seleksi bidik misi," ujarnya.
Sejak kecil, Indri sudah menetapkan hati untuk menjadi pendidik, apakah guru atau dosen. Sehingga, pada saat memilih jurusan, ia memantapkan dirinya untuk jurusan pendidikan.
"Sebetulnya ada beberapa pilihan, tetapi akhirnya saya diterima di Pendidikan dan Sastra Indonesia. Saya bersyukur, karena diterima di Unsoed, jadi mahasiswa angkatan 2015. Dengan kuliah di Unsoed, maka tidak jauh-jauh ke luar kota kuliahnya," ungkap dia.
Meski mendapat jatah beasiswa untuk hidup, tetapi Indri yang beralamat di Desa Pejogol, Kecamatan Cilongok, Banyumas memastikan untuk tidak kos di Kota Purwokerto.
"Ya sebetulnya tidak terlalu jauh, hanya kisaran 15 km jarak rumah ke kampus. Namun, bukan soal jarak alasannya, sebab saya juga harus menjadi pendamping bagi ibu yang kerap sakit-sakitan. Tidak hanya di rumah, kadang juga dirawat di RS," ujarnya.
Sebagai konsekuensinya, Indri yang naik sepeda motor matic butut, harus rela menembus hujan dan panasnya matahari. Tidak jarang, sepeda motornya mogok, kehabisan BBM. Sehingga Indri terpaksa harus menuntun motor.
"Itu pengalaman sering saya alami. Apalagi, rumah saya, lokasinya cukup terpencil dan berbukit. Ya dinikmati saja," kata Indri berkaca-kaca.
Ada satu masa, dirinya harus membagi waktu antara kuliah dan menunggu orang tua.
"Ibu saya kadang masuk RS. Pernah sekali waktu, ibu saya yang menderita epilepsi harus masuk ke RS di Purwokerto. Sehingga mau tidak mau saya harus menunggui. Yang dikorbankan adalah waktu istirahat. Paling hanya satu atau dua jam saja, saya tidur. Tapi, alhamdulillah, itu sudah jadi jalan hidup."
Indri tidak hanya memikirkan kuliah dan orang tua saja, tetapi juga mencari uang sendiri untuk menambah biaya yang kadang kurang.
"Memang setiap bulan ada jatah biaya hidup melalui program bidik misi senilai Rp600 ribu, tetapi kadang tidak cukup. Mau minta sama bapak, tidak tega. Karena tidak setiap hari bapak berangkat. Kalau truk berangkat, baru bapak ikut kerja sebagai kuli angkut. Kondisi inilah yang mengharuskan saya untuk kerja agar bisa mendapatkan tambahan biaya
hidup," kata Indri.
Bagi Indri, kerja bukanlah hal yang baru. Sebab, ketika lulus SMK dan menunggu pengumuman SBMPTN, ia sengaja melamar kerja dan diterima menjadi kasir di salah satu restoran di Purwokerto.
"Saya sempat keluar, karena ingin berkonsentrasi pada kuliah. Tetapi, setelah perjalanan waktu, ternyata saya kerap kekurangan uang. Sebab, penerimaan beasiswa bidik misi kadang tidak pas waktunya. Karena itulah, mau tidak mau saya harus bekerja lagi," katanya.
Dia kemudian melamar di sebuah hotel berbintang di Purwokerto. Indri cukup gampang mendapat pekerjaan, sebab dia melamar kerja di hotel yang merupakan tempat PKL sewaktu di SMK.
"Lumayan lah, saya kerja paruh waktu, pada saat akhir pekan yakni Sabtu dan Minggu, ketika kuliah libur. Saya kerja sebagai housekeeping atau sebagai waiters. Lumayan juga sih, bisa untuk tambahan biaya hidup," ujar Indri.
baca juga: Kejaksaan Ajak Masyarakat Perangi Korupsi
Perjalanan waktu hampir empat tahun kuliah di Unsoed, menempa Indri jadi seorang yang memiliki kemauan dan kepribadian kuat. Meski kini dia telah menjadi sarjana, tetapi tidak kemudian mementingkan dirinya sendiri.
"Saya sih punya keinginan meneruskan kuliah lagi. Tetapi biarlah cita-cita itu saya tunda dulu. Saya ingin kerja mengajar dulu, untuk menyekolahkan adik saya. Kalau bukan saya, siapa lagi," pungkasnya. (OL-3)
WAKIL Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mendorong ketersediaan sistem pendidikan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja dan masyarakat.
Beasiswa Unggulan 2025 adalah program bantuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek)
NUO memahami pentingnya inovasi dalam pengelolaan wakaf agar mampu memberikan dampak yang lebih luas dan berkelanjutan, khususnya bagi sektor pendidikan.
Program pelatihan dari International Center for Land Policy Studies and Training (ICLPST) bukan sekadar pendidikan kebijakan pertanahan dan pajak, melainkan perjalanan lintas budaya.
Dukungan tersebut sejalan dengan pandangan AHY mengenai perlunya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia, terutama di kalangan pemuda.
THE principal’s role is not a career promotion from teaching, but a fundamentally different responsibility requiring leadership of the whole system (Michael Fullan, 2014).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved